Wartain.com || Tidak lama selepas dilantiknya Prabu Surawisesa menjadi Raja Pajajaran (1522), 16 Raja bawahannya menyatakan diri merdeka dari Pajajaran, dan salah satu Kerajaan yang hendak merdeka dari Pajajaran itu adalah adik Prabu Surawisesa sendiri.
Pemberontakan 16 Raja bawahan Pajajaran tersebut ditanggapi dengan keras oleh Prabu Surawisesa, keenam belas kerajaan tersebut diserang habis-habisan hingga mereka takluk, sementara bagi para kerabat kerajaan dan para punggawa kerajaan yang selamat terpaksa bertolak ke Cirebon untuk meminta perlindungan.
Latar Belakang Pemberontakan
Pada abad 16, agama Islam yang disebarkan oleh para Wali dan para Mubalig Islam sudah tidak dapat dibendung lagi, rakyat terutamanya rakyat pesisir pantai utara dan beberapa daerah pegunungan di wilayah Kerajaan Pajajaran berbondong-bondong memeluk ajaran Islam dengan sukarela tak terkecuali para penguasanya.
Dan diantara para penguasa yang dengan suka rela memeluk Islam itu adalah :
Kyai Arya Baroh dari Kalapa Dalem atau Kalapa Kulon
Kyai Wudhubasuraga dari Tanjung
Nyai Ngajirasa dari Ancol
Adipati Suranggana dari Wahanten Girang
Sang Arya Suraprasa dari Simpang
Arya Pulunggana dari Gunung Batu
Ratu Hyang Banaspati dari Saung Agung
Arya Sukara dari Rumbut
Tumenggung Linggageni dari Gunung Ageung
Sang Adipati Patala dari Padang
Prabhu Yasanagara dari Pagawok
Sang Arya Wirasakti dari Muntur
Arya Senapati Bhimajaya dari Hanum
Sang Arya Wulunggada dari Pagerwesi
Pradharmaya dari Medhang Kahyangan
Sang Prabu Walahar dari Gunung Banjar
Keenam belas penguasa di Kerajaan bawahan pajajaran tersebut mulanya tidak ada masalah dengan Pajajaran, hanya saja sejak Prabu Surawisesa menandatangani perjanjian persahabatan antara Portugis dan Sunda (Pajajaran) pada 21 Agustus 1522, keenam belas Raja bawahan Pajajaran tersebut berpaling muka. Hal ini dikarenakan bangsa Portugis dalam pandangan orang Islam sebagai musuhnya orang Islam.
Penaklukan Bangsa Portugis pada Pasai, Malaka, Ternate dan negeri-negri Islam lainnya di nusantara memantik persatuan umat Islam lintas negara untuk menangkal pengaruh Portugis di daerahnya masing-masing, oleh karena itu, ketika Prabu Surawisesa berencana melakukan kerjasama dengan Portugis, lebih-lebih Prabu Surawisesa dianggap tidak menghiraukan keberatan para Penguasa Islam di wilayah Pajajaran yang tidak setuju. Keenam belas para penguasa bawahan Pajajaran itupun akhirnya menyatakan keluar dari Pajajaran.
Sebagai akibat dari pemberontakan tersebut, Prabu Surawisesa kemudian mengumpulkan seluruh Penguasa atau Raja-Raja bawahan diwilayahnya yang masih setia.
Bersama Raja-Raja bawahan Pajajaran itulah, akhirnya diputuskan daerah-daerah tersebut harus diserang dan ditaklukan apabila tidak mencabut deklarasinya untuk keluar dari Pajajaran.
Dengan bala tentara yang banyak, akhirnya pada pertengahan tahun 1522 Masehi, Prabu Surawisesa melakukan serangan ke enam belas wilayah Kerajaan Pajajaran yang memberontak, termasuk menyerang Wanhanten Girang (Banten Girang) yang kala itu dirajai oleh adiknya sendiri Adipati Suranggana.
Serangan Pajajaran ke enam belas Raja bawahannya itu memakan waktu 3 tahun (1522-1524), satu persatu seluruh daerah tersebut dapat ditaklukan, akan tetapi sebagian kerabat Raja dan pemberontak juga banyak yang berhasil meloloskan diri ke Cirebon, mereka meminta perlindungan Sunan Gunung Jati.
Invasi Demak & Cirebon Pada Wilayah Pajajaran
Kedatangan rombongan pengungsi dari enam belas kerajaan bawahan Pajajaran membuat Sunan Gunung Jati naik pitam, terlebih-lebih ketika Sunan Gunung Jati mengetahui jika perjanjian antara Sunda dan Portugis salah satu butirnya memberikan kesempatan pada Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa (Jakarta)
Atas dasar itulah, Sunan Gunung Jati mengirimkan utusan ke Demak guna mengabarkan bahaya besar yang akan datang apabila Portugis dibiarkan bercokol di Pulau Jawa.
Selepas mendapatkan kabar dari utusan Cirebon, Sultan Trenggono mengirimkan bala tentara Demak yang dipimpin oleh Fadhilah Khan berangkat ke Cirebon.
Tepat pada 1526 Masehi, gabungan tentara Cirebon dan Demak melakukan serangan pada wilayah Kerajaan Pajajaran. Daerah yang mula-mula ditaklukan adalah Banten, selanjutnya seluruh wilayah pesisir Utara Pajajaran bagian Barat termasuk didalamnya Sunda Kelapa ditaklukan oleh Pasukan Cirebon dan Demak.
Berkaitan dengan penaklukan
Sunda kelapa, baru dapat ditaklukan oleh Pasukan Demak dan Cirebon pada tahun 1527, tidak lama selepas ditaklukan, Fadilahkan yang juga merupakan menantu Sunan Gunung Jati didaulat menjadi Adipati Sunda Kelapa.
Bersamaan dengan itu, Portugis yang sedianya mengirimkan bantuan ke Pajajaran, tidak menyangka jika Sunda Kelapa telah jatuh ketangan Demak dan Cirebon, oleh karena itu, ketika mereka hendak mendarat di Sunda Kelapa mereka kalang kabut karena kapal yang mereka kendarai dihantam meriam-meriam Demak dan Cirebon, dari empat kapal Portugis hanya satu saja yang dapat melarikan diri kembali ke Malaka.
Perang Pajajaran Vs Aliansi Cirebon & Demak
Selepas ditaklukannya beberapa pelabuhan penting di bagian barat Pajajaran, maka berkecamuk lah perang besar antara Pajajaran melawan aliansi Cirebon dan Demak.
Beberapa kali Pajajaran berupaya merebut kembali Banten dan Sunda Kelapa namun selalu gagal.
Disisi lain, di wilayah timur Pajajaran, Kerajaan bawahan Pajajaran lainnya seperti Galuh, Rajagaluh, Talaga dan beberapa kerajaan lainnya tidak sanggup melawan Cirebon dan Demak, semuanya jatuh ketangan Cirebon pada Tahun 1530.
Tidak mau Pajajaran runtuh, akhirnya pada tahun 1531, Prabu Surawisesa mengirimkan sepucuk Surat kepada Sunan Gunung Jati yang isinya mengajak untuk berdamai.
Ajakan Prabu Surawisesa diterima dengan lapang oleh Sunan Gunung Jati, meskipun kala itu Sunan Gunung Jati sudah yakin betul jika perang diteruskan, Pajajaran akan dapat ditaklukan. Pada Tanggal 12 Juni 1531 akhirnya perjanjian Damai antara Cirebon dan Pajajaran ditanda tangani.
Carita Parahiyangan mencatat, bahwa kandungan isi perjanjian itu diantaranya berisi.”Kedua-belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling menyerang, silih asih. Kedua-belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai sesama ahli waris Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), sedarah janganlah putus”. (*”*)
Foto : Sejarah Cirebon
Editor : Aab Abdul Malik
(Redaksi)