Oleh: Aznil Tan
Wartain.com || Mahkamah Agung (MA) telah resmi menolak kasasi yang diajukan oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Putusan ini menjadikan Sritex pailit per 19 Desember 2024, membuka babak suram bagi industri padat karya.
Perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah, dan telah berdiri lebih dari setengah abad ini, mempekerjakan sekitar 40 ribu orang serta melayani konsumen hingga mancanegara. Kini, Sritex menghadapi krisis eksistensial.
Kabar pailitnya Sritex bukan sekadar cerita tentang perusahaan yang kolaps. Fenomena ini juga melanda berbagai industri padat karya lainnya di Indonesia. Beberapa perusahaan besar dan UMKM tekstil menghadapi tantangan serupa, terutama karena persaingan dengan produk impor murah dan beban utang yang tinggi.
Ini adalah alarm nasional, terutama karena ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Kekhawatiran mulai mencuat pada pertengahan 2024, dan mencapai puncaknya pada November 2024, ketika sekitar 2.500 buruh Sritex dirumahkan akibat kekurangan bahan baku.
Presiden Prabowo Subianto, yang baru dilantik pada Oktober 2024, segera memerintahkan empat menteri—Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan—untuk menyelamatkan ribuan pekerja dan industri tersebut.
Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer (Noel), langsung turun tangan untuk meredam kegelisahan buruh Sritex. Ia berkomitmen mencegah PHK massal. Pihak manajemen Sritex pun berkomitmen untuk tidak ada PHK dan tetap membayar gaji karyawan yang dirumahkan meski perusahaan dalam kesulitan.
Meski berstatus pailit, keputusan MA tidak serta-merta mematikan operasional Sritex. Masih ada peluang restrukturisasi utang, meskipun jalannya terjal. Namun, opini publik sudah terlanjur menganggap Sritex bangkrut.
Di sinilah dilema pemerintah bermula, menciptakan situasi yang “mumet,” meminjam istilah Noel untuk menggambarkan kondisi yang terjadi.
Menyelamatkan Sritex dengan menyuntikkan dana segar bisa dianggap tidak adil dan menimbulkan tuduhan favoritisme. Sebaliknya, membiarkan Sritex jatuh berarti membiarkan ribuan pekerja kehilangan nafkah, yang jelas berdampak negatif pada ekonomi lokal dan nasional. Puluhan ribu pekerja kehilangan pekerjaan di Sritex, yang berpotensi meningkatkan angka pengangguran secara signifikan di tengah tingginya tingkat pengangguran terbuka dan pengangguran tersembunyi di Indonesia. Gelombang PHK yang terus berlanjut akan semakin memperburuk perekonomian nasional.
Optimisme untuk menyelamatkan Sritex harus dibarengi dengan realisme. Dengan total utang mencapai Rp25,12 triliun dan aset hanya Rp9,3 triliun, keuangan Sritex sangat tidak sehat. Inilah alasan utama perusahaan dinyatakan pailit.
Industri padat karya adalah tulang punggung ekonomi Indonesia karena menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Industri tekstil seperti Sritex merupakan sektor utama dalam industri ini. Namun, sektor padat karya kini menghadapi tekanan berat, baik dari persaingan global, kenaikan biaya operasional, hingga dampak kebijakan fiskal yang kurang mendukung.
Menyelamatkan industri padat karya tidak hanya penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional, tetapi juga untuk melindungi rakyat kecil agar tetap dapat bekerja dengan tenang di pabrik-pabrik, sebagaimana tertuang dalam visi Prabowo.
Di tengah dilema yang kompleks, diperlukan kebijakan yang seimbang untuk mendukung sektor usaha sekaligus menjaga keberlanjutan fiskal negara. Sayangnya, kebijakan pemerintah justru menambah tekanan.
Buruh Sritex Mumet
Bagi 40 ribu buruh Sritex, kondisi ini adalah mimpi buruk. Mereka terjebak dalam dilema yang melibatkan dua “Sri”: yang satu gagal mengelola keuangan perusahaan, sementara yang lainnya dianggap tidak bijak dalam kebijakan pajak.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh empat menteri yang ditugaskan oleh presiden terkesan normatif, tanpa terobosan besar yang dapat menyelamatkan Sritex atau melakukan evaluasi menyeluruh untuk menyelamatkan industri padat karya dalam negeri.
Tindakan pemerintah cenderung parsial—seperti menteri yang bertindak sendiri-sendiri. Tidak ada langkah progresif dan terpadu yang diambil untuk menyelesaikan masalah ini secara komprehensif.
Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian seharusnya memberikan dukungan nyata kepada industri dalam negeri, terutama dengan menciptakan kebijakan proteksionisme yang tegas untuk membatasi barang-barang impor. Kebijakan ini bisa melindungi sektor-sektor vital dan mendorong pertumbuhan industri domestik. Namun, kebijakan proteksionisme tidak muncul.
Perusahaan dan UMKM dibiarkan bertarung bebas, seperti Elias Pical melawan Mike Tyson. Maka wajar jika industri Indonesia sekali pukul langsung KO, karena perbandingannya tidak setara.
Menteri Keuangan seharusnya fokus pada restrukturisasi dan penyelesaian krisis perusahaan. Negara perlu hadir memberi dukungan kepada Sritex dan perusahaan lainnya dalam melakukan restrukturisasi utang serta mencari solusi untuk menghindari likuidasi. Termasuk memberikan akses pembiayaan yang lebih mudah, serta mempercepat proses penyelesaian masalah hukum yang sedang dihadapi perusahaan. Sayangnya, publik tidak melihat langkah progresif yang berani untuk mengambil risiko, meskipun mendapat kritik keras.
Meski Wakil Menteri Tenaga Kerja telah berkomitmen untuk memastikan tidak ada PHK, menjamin hak-hak pekerja tetap terlindungi, dan menyiapkan langkah mitigasi jika terjadi likuidasi pada PT Sritex—seperti program pelatihan, penempatan tenaga kerja, serta pemberian insentif bagi perusahaan yang mampu menyerap tenaga kerja terdampak—solusi tersebut bukanlah yang diharapkan oleh para buruh Sritex.
Mereka ingin keluar dari segala kemumetan ini. Mereka ingin tetap bekerja dan memastikan dapat menafkahi keluarga mereka.
Pajak Sri Makin Bikin Mumet
Persoalan industri padat karya semakin rumit ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap “kekeh” menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Meskipun kebijakan fiskal ini bertujuan meningkatkan pendapatan negara dengan alasan bahwa tarif PPN di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara-negara maju, di mana rata-rata tarif PPN global mencapai 15%—khususnya di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)—pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Ini terutama karena kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja.
Sri Mulyani seolah tidak mempertimbangkan dampak kenaikan PPN terhadap masyarakat dan dunia usaha. Kenaikan ini diperkirakan akan memukul daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, dan memperburuk kondisi sektor usaha yang sudah tertekan.
Para analis ekonomi memperkirakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga. Tambahan beban untuk kelompok masyarakat miskin diperkirakan sebesar Rp101.880 per bulan, dan untuk masyarakat kelas menengah ke atas, sekitar Rp354.293 per bulan.
Namun, Sri Mulyani malah menambah kemumetan hidup masyarakat. Di sektor usaha, pengusaha, terutama UMKM, akan menghadapi kesulitan menyesuaikan margin keuntungan karena kenaikan harga barang dan jasa. Sektor usaha yang sudah tertekan oleh kondisi ekonomi lesu akan semakin terbebani oleh kenaikan tarif PPN ini.
Seharusnya, Sri Mulyani memberikan insentif pajak bagi perusahaan agar mereka dapat mempertahankan tenaga kerja. Kebijakan ini mencerminkan dilema besar: di satu sisi, pemerintah perlu meningkatkan pendapatan negara, tetapi di sisi lain, langkah ini justru menambah tekanan pada sektor usaha dan masyarakat luas.
Dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil, kebijakan ini menjadi tidak tepat waktu dan berpotensi memicu masalah sosial yang lebih besar.
Nama “Sri” dalam dongeng melambangkan kemakmuran, tetapi dalam kenyataan, dua “Sri” ini justru membawa kemumetan. Sritex pailit, buruh terancam, kebijakan tak berpihak. Kalau begini terus, kapan industri padat karya kita benar-benar bisa menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia? Memang “mumet!” (***)
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(AAS)