Oleh : Dzikri Nur/ Pengamat Sosial Keagamaan
Wartain.com || Di dunia yang makin riuh oleh identitas, label, dan pencitraan, manusia modern sering kali kehilangan satu hal paling mendasar: siapa dirinya sebenarnya.
Kita sibuk membentuk wajah di media sosial, tetapi lupa menatap wajah hakiki dalam cermin ruhani. Di titik ini, Ibnu ‘Arabī membuka tabir hikmah Nabi Adam dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam: bahwa Adam bukan sekadar manusia pertama, tapi “cermin wajah Tuhan”—manusia paripurna.
Ibnu ‘Arabī menyebut Nabi Adam sebagai manifestasi “al-Insān al-Kāmil” (manusia sempurna), bukan karena kesempurnaan biologis atau sosial, tapi karena ia adalah tajalli (penampakan) dari seluruh nama-nama Tuhan. Dalam diri Adam, terangkum rahmat, keindahan, kemuliaan, tapi juga murka, kehendak, dan rahasia ketidaktahuan. Semua sifat Tuhan termanifestasi dalam entitas satu ini: manusia.
Ini bukan pujian, tapi panggilan. Sebab Adam adalah gambaran kita semua. Kita memikul amanat besar: menjadi cermin Tuhan di dunia. Tapi, siapa dari kita yang masih ingat akan tugas suci itu?
Ibnu ‘Arabī tidak bicara soal sejarah. Ia bicara soal keadaan batin kita hari ini. Ketika kita merasa terpecah, hampa, bingung arah, sejatinya kita sedang menjauh dari hakikat Adam dalam diri kita. Kita lupa bahwa kita diciptakan bukan untuk sekadar bertahan hidup, tapi untuk mengenali dan mencerminkan Tuhan—bukan melalui kata-kata, tapi dengan menjadi itu sendiri.
Adam jatuh ke bumi bukan karena hukuman, tapi karena misi. Ia harus “turun” agar bisa naik. Ia harus melewati lupa untuk kembali ingat. Sama seperti kita. Kita diturunkan ke dunia ini agar mengenal rahasia Tuhan melalui perjalanan hidup, luka, cinta, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung selesai.
Dalam setiap kegagalan, ada panggilan untuk kembali ke fitrah. Dalam setiap kegundahan, ada gema suara Tuhan: “Tidakkah kau sadar siapa dirimu?” Inilah yang dibisikkan oleh hikmah Nabi Adam: bahwa kita bukan sekadar kumpulan sel dan insting, tapi cermin hidup dari yang Maha Esa. Dan hanya dengan menyelami batin, membenahi niat, membersihkan hati, kita bisa kembali memantulkan wajah-Nya dengan jernih.
Fuṣūṣ al-Ḥikam bukan hanya teks klasik. Ia adalah cermin. Dan lewat Adam, Ibnu ‘Arabī mengajak kita menatap dalam ke mata batin sendiri. Apakah kita masih pantas disebut manusia—dalam pengertian ruhani yang sebenarnya?
Saat dunia sibuk menjual citra, mari kita jujur melihat ke dalam. Bukan siapa kita di mata dunia, tapi siapa kita di hadapan Tuhan. Sebab hanya itu yang akan tinggal saat segalanya lenyap.***
Foto : Dok. Pribadi
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)