Oleh: Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan
Wartain.com || Dalam lanskap politik Indonesia yang semakin pragmatis dan dangkal, kehadiran figur seperti Dedi Mulyadi menjadi semacam anomali yang menyita perhatian banyak kalangan. Ia bukan sekadar politisi dengan jam terbang tinggi, tetapi seorang figur budaya yang menjelmakan nilai-nilai lokal dalam ruang publik.
Dengan baju pangsi hitam, bahasa Sunda yang kental, dan pendekatan merakyat yang konsisten, Dedi Mulyadi seakan membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan Jawa Barat—antara kearifan leluhur dan harapan baru masyarakat.
Fenomena ini tak bisa hanya dibaca lewat kacamata elektabilitas dan popularitas. Ia menuntut tafsir yang lebih dalam, lebih batiniah. Dalam kesadaran kolektif masyarakat Jawa, terutama di Tanah Pasundan, masih hidup keyakinan tentang hadirnya sosok satrio piningit—sang pemimpin tersembunyi yang akan datang bukan hanya membawa solusi politik, tetapi juga menyembuhkan luka sejarah dan batin rakyat. Ia bukan sekadar pemimpin administratif, tetapi pembawa terang spiritual.
Dedi Mulyadi, dengan segala kekhasannya, telah menghidupkan imajinasi kolektif itu. Ia tidak datang dengan jargon revolusioner, tetapi dengan kelembutan tutur, kehadiran nyata di pelosok-pelosok desa, dan keberanian menyingkap realitas rakyat miskin secara gamblang. Ia tidak menampilkan diri sebagai pahlawan, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat seperti “yang ditunggu.” Ia tidak membungkus diri dengan simbol-simbol besar, tetapi membiarkan dirinya dibaca sebagai lambang itu sendiri.
Dalam setiap langkahnya, kita menemukan irisan antara nalar politik dan rasa spiritual. Dedi tidak berbicara banyak tentang agama secara verbal, tapi cara ia memanusiakan manusia adalah bentuk paling dalam dari keberagamaan itu sendiri. Dalam masyarakat yang lelah oleh janji-janji elit, kehadirannya menjadi semacam oase: bukan karena ia suci, tetapi karena ia hadir. Dan di zaman ini, kehadiran yang tulus lebih langka dari slogan yang indah.
Tentu, menyebutnya sebagai satrio piningit adalah perkara yang berat. Tapi justru karena itu, wacana ini patut direnungkan. Mungkin yang kita butuhkan hari ini bukan satrio dalam makna mitologis, tetapi pemimpin yang berfungsi seperti satrio: hadir saat rakyat merasa kehilangan arah, menghidupkan kembali identitas, dan memulihkan harkat manusia yang terabaikan oleh sistem.
Apa yang dilakukan Dedi Mulyadi dalam kanal YouTube-nya—yang menyoroti kehidupan rakyat kecil secara jujur tanpa skrip—lebih dari sekadar konten. Ia adalah cara sunyi untuk mengatakan: “Beginilah keadaan kita, mari sadar.” Dalam dunia yang semakin bising, suara Dedi menjadi gema yang justru menenangkan karena ia tidak memaksakan, tapi mengalir. Ia tidak mencitrakan diri sebagai pemimpin besar, tapi justru itulah kekuatannya.
Tentu, Dedi Mulyadi bukan tanpa cela. Seperti setiap manusia, ia penuh keterbatasan. Namun barangkali, justru di situ letak harapannya. Kita tak perlu pemimpin sempurna, kita hanya butuh pemimpin yang mampu bersetia—pada tanah, pada rakyat, dan pada kebenaran yang bersumber dari nurani. Dalam kesetiaan seperti inilah, seorang manusia biasa bisa menjelma menjadi piningit yang sejati.
Fenomena Dedi Mulyadi mengajarkan bahwa politik bukan hanya tentang perebutan kekuasaan, tapi juga tentang merawat jiwa rakyat. Dan jika benar ada satrio yang ditunggu, maka mungkin ia tidak datang dari langit. Ia datang dari bumi, dari jalanan berdebu, dari suara rakyat yang lama tak didengar. Dalam terang tafsir ini, barangkali kita sedang menyaksikan bukan mitos, tetapi awal dari perubahan yang hakiki.***
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)