Wartain.com || Di sebuah rumah sederhana di Kampung Sayang, Desa Margaluyu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, seorang pemuda bernama Muhammad Abi Rahman Saputra (19) menghabiskan hari-harinya hanya dengan menatap langit-langit kamar. Sudah empat tahun terakhir, ia tidak lagi merasakan bagaimana rasanya berjalan, berlari, atau bahkan duduk dengan nyaman.
Abi menderita osteogenesis imperfecta, penyakit langka yang membuat tulangnya rapuh dan mudah patah. Sejak usia belia, Abi sudah menunjukkan gejala kelelahan saat berjalan. Namun, keluarga baru benar-benar menyadari kondisi serius itu saat ia berusia 15 tahun. Sebuah insiden kecil—terpeleset usai mengambil wudu di masjid—berujung fatal. Tulangnya patah parah, dan sejak saat itu ia tak pernah bisa berdiri lagi.
“Iya, waktu kecil dia sering capek kalau jalan. Tapi kami pikir itu biasa. Lalu ketahuan kakinya panjang sebelah. Baru saat jatuh di masjid, kondisinya benar-benar berubah,” tutur sang ibu, Rina (38), menahan isak saat menceritakan kisah anak sulungnya.
Abi, yang seharusnya lulus SMP dan melanjutkan ke jenjang berikutnya, terpaksa meninggalkan bangku sekolah tiga bulan sebelum kelulusan. Sejak itu, hidupnya hanya berputar di atas kasur, dengan tubuh yang semakin membengkak dari paha hingga punggung. Ia bahkan tak mampu duduk lama, karena nyeri hebat di tulang ekor.
Namun semangat Abi belum pudar.
“Kalau ditanya, dia masih ingin sembuh. Bahkan kalau harus diamputasi, dia sudah siap. Katanya, yang penting bisa mandiri, bisa ketemu teman, bisa jajan sendiri,” ucap Rina, matanya berkaca-kaca.
Upaya keluarga tidak main-main. Abi pernah dirawat di sejumlah rumah sakit besar, seperti RSUD R Syamsudin SH Kota Sukabumi, RS Hasan Sadikin Bandung, dan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Namun tak ada kemajuan berarti. Bahkan untuk pemeriksaan lebih lanjut, dokter menyarankan tes genetik di Jerman—sebuah prosedur yang tidak ditanggung BPJS dan tentu di luar jangkauan keluarga.
Sementara itu, sang ayah, Yudi (44), hanya menggantungkan penghasilan dari berjualan mie ayam di dekat rumah. Pendapatan yang tak menentu membuat mereka harus menunda pengobatan Abi lebih dari setahun terakhir.
“Kalau rame dagangan, bisa disisihkan buat pengobatan. Tapi kalau lagi sepi, bingung. Abi butuh pendampingan terus, adik-adiknya juga masih kecil. Kami benar-benar harus pintar-pintar bertahan,” ujar Yudi.
Kini, untuk ke kamar mandi pun, Abi harus merangkak dengan cara ngesot. Jika makan, ia disuapi. Tak jarang, ia hanya memandang jendela, membayangkan kehidupan di luar sana—sebuah dunia yang sudah lama tak bisa ia sentuh.
Meskipun begitu, dukungan terus mengalir. Abi sempat mendapat perhatian dari Dinas Sosial dan pihak sekolah yang memberinya ijazah meski tidak mengikuti ujian kelulusan. Namun, itu belum cukup. Abi butuh lebih dari sekadar simpati—ia membutuhkan uluran nyata.
“Kami nggak minta banyak, hanya ingin Abi dapat kesempatan berobat lagi. Siapa tahu masih ada harapan. Kami cuma orang biasa, tapi Abi punya semangat luar biasa,” ujar Rina, menutup kisah dengan harapan yang tetap menyala.***(RAF)
Editor : Aab Abdul Malik