Wartain.Com || Editor: Egidius Patnistik
TAHUN Vivere Pericoloso” adalah judul pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1964.
“Hari ini 17 Agustus 1964. Tiap 17 Agustus mempunjai arti-pentingnja sendiri, significance-nja sendiri. Di antara bulan-bulan jang dua-belas itu, Agustus adalah jang terkeramat bagi kita. Amerika dan Perantjis mengkeramatkan bulan Djuli; Tiongkok dan Soviet Uni bulan Oktober; Kita mengkeramatkan bulan Agustus, bulan Proklamasi!” kata Soekarno dalam pidatonya itu.
Pidato ‘Vivere Pericoloso’ Soekarno diterjemahkan oleh kantor berita Antara ke edisi bahasa Inggris dan disebarkan oleh Harian Rakjat edisi 19 Agustus 1964 (Pauker, 1967). ‘Vivere Pericoloso’ berasal dari istilah Italia, bermakna, “hidup di lingkungan berbahaya”.
Presiden RI Soekarno menyebut ‘nekolim’—neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme sebagai bentuk ancaman nyata terhadap upaya meraih cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia masa itu.
Melalui pidato ‘Tahun Vivere Pericoloso’, Soekarno merilis pesan ke level kawasan, khususnya setiap negara Asia-Afrika tentang spirit Konferensi Asia-Afrika Bandung (1955), yakni “…keharusan setiap negara Asia-Afrika untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan.”
Dari sini lahir gagasan Presiden Soekarno tentang Strategi Trisakti: ‘Berdikari bidang ekonomi, berdaulat (merdeka) bidang politik, dan berkepribadian bidang kebudayaan.”
Soekarno melihat bentuk-bentuk neo-kolonialisme lazim sangat halus dan tidak kentara. Bentuknya mungkin saja aliran pinjaman-investasi asing yang berisiko gusur rakyat dari tanah di bawah kakinya. Maka Presiden Soekarno, misalnya, berupaya memperkuat rantai-manunggal rakyat dengan Tanah-Air melalui program land-reform atau upaya swa-sembada pangan.
Pesan dan pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1964 itu tentu masih sangat relevan dan penting hingga saat ini dan masa-masa datang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut Presiden Soekarno, neokolonialisme adalah penjajahan by proxy, penjajahan by remote control, dan penjajahan ‘dari jarak jauh’.
Strategi Trisakti Soekarno
Unsur pokok tiap strategi hanya dua yakni penentuan titik (patokan atau dasar) dan skala waktu. Titik atau dasar-patokan harus benar-benar kokoh dan fundamental. Sebab jika titik berubah, maka arah, kecepatan, dan mata-rantai tantangan, ancaman, gangguan, dan hambatan juga berubah.
Di depan Sidang Pertama Rapat Besar BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945 di Jakarta, Soekarno, anggota BPUPKI,
menyatakan titik-patokan dasar Indonesia merdeka adalah philosophische grondslag yaitu Pancasila. Weltanshauung Bangsa Indonesia adalah Pancasila.
Pilihan strategis untuk Indonesia merdeka, menurut Soekarno, ialah simpul dasar kebangsaan. “Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia… Satu nationale staat!” papar Soekarno.
Simpul dasar negara-bangsa (nationale staat), menurut Soekarno, ialah rakyat dan tanah-air; bangsa tidak hanya lahir karena kesamaan sejarah, seperti pandangan Ernest Renan, sosiolog Prancis, atau kesamaan cita-cita seperti pandangan Otto Bauer dalam bukunya Die Nationalitatenfrage.
“Menurut geopolitik, maka Indonesialah Tanah Air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera. Itulah Tanah Air kita!,” papar Soekarno di depan Rapat Besar BPUPKI Jumat 1 Juni 1945.
Maka unsur pokok Strategi Trisaksi Soekarno ialah rakyat dan tanah-air. “Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian; persatuan antara manusia dan tempatnya! Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari Bumi yang ada di bawah kakinya,” begitu papar Soekarno. Bagaimana memahami Strategi Trisaksi Soekarno itu? Marsekal Madya (Purn) Teddy Rusdy, dalam buku Jati Diri, Doktrin, dan Strategi TNI (2016), menegaskan bahwa doktrin dan jati diri harus berasal dan tumbuh dari akar-budaya bangsa, dengan memperhitungkan faktor-faktor geografis dan demografis bangsa. Karena itu, misalnya, pola pikir, sikap, tindakan (keputusan atau program kebijakan), kebiasaan yang hendak atau berisiko memisahkan rakyat dari Bumi di bawah kakinya, itu pula pintu masuk dari bentuk-bentuk penjajahan, ketidak-adilan atau anti-perikemanusiaan. Presiden Soekarno membayangkan bahwa Strategi Trisakti dapat melahirkan suatu transformasi warga-negara dan masyarakat melalui proses ‘the universal revolution of man’. Perubahan itu antara lain melibatkan fase: romantika, dinamika, dan dialektika guna melawan ‘bahaya’ yakni neokolonialisme, imperialisme, dan kolonialisme (nekolim). Selama ini, ahli-ahli strategi selalu memasukkan dan memperhitungkan unsur-unsur mekanika (fisika) dan dialektika. Misalnya, Carl von Clausewitz, penulis Om Kriege atau On War (1976, 1984), dan rekan-rekan pendidikannya diajarkan oleh ahli fisika Paul Erman tentang fisika, khususnya mekanika (Paret, 1976: 310–311). Saat mengikuti pendidikan di Kriegsakademie, Clausewitz juga mempelajari karya-karya filsafat dialektika Immanuel Kant. Sedangkan untuk pelajaran fisika dasar, khususnya ilmu mekanika, misalnya, suatu ‘Center of Gravity’ (CoG) dipahami sebagai simpul konvergensi dari kekuatan-kekuatan gravitasi dalam satu obyek (Jones et al, 1993: 52-55).
Tiap strategi harus teliti memperhitungkan konvergensi kekuatan-kekuatan gravitasi dari suatu objek. CoG negara-bangsa, misalnya, ialah manunggal rakyat dan tanah-air; jika rakyat tidak lagi manunggal dengan tanah-air, tidak ada negara-bangsa. Tidak ada negara tanpa rakyat; Tidak ada negara tanpa tanah-air. Rakyat dan tanah-air adalah unsur pokok dari Strategi Trisaksi. Maka hak-hak ulayat, hak perdata rakyat, dan sejenisnya, harus diakui, dijamin, dan dilindungi oleh negara-bangsa.
Barangkali gagasan trisaksi berbasis negara-bangsa tersebut di atas seolah-olah tidak relevan dengan tren lima jagat negara akhir-akhir ini: laut, udara, darat, antariksa, dan digital (maya). Prof. Soepomo, SH, anggota BPUPKI, pada Sidang BPUKI 29 Mei 1945 di Jakarta merilis pidato : “Pembangunan negara bersifat barang bernyawa. … janganlah kita meniru belaka susunan negara lain.” Cita-cita kemerdekaan bangsa Drs. Moh. Hatta, proklamator kemerdekaan Indonesia mencatat pesan khusus: “Pergerakan atau bangsa patah, karena pemimpinnya tidak mempunyai karakter.” Jati diri bangsa Indonesia ialah nilai-nilai asli dan universal Pancasila. Presiden Soekarno berpidato pada Peringatan Lahir Pancasila, filosofische grondslag Indonesia, 1 Juni 1964 di Kota Yogyakarta: “Aku tidak mendapat wahju; Aku bukan Nabi; Aku sekedar menggali Pantja Sila di Bumi Indonesia sendiri!” (Kedaulatan Rakjat, Selasa 1 Juni 1964).
Cita-cita dan sifat kebatinan Bangsa Indonesia, papar Profesor Raden Soepomo,SH (1945), adalah persatuan hidup, saling-pengaruh, dan keseimbangan antara alam fisik (luar) dan alam batin (dalam), makrokosmos dan mikrokosmos, rakyat dan para pemimpinnya. (Sumber : Kompas)