Wartain.com || Mayoritas mata uang Asia tengah tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).Setidaknya terdapat tiga mata uang yang terdepresiasi lebih parah dibandingkan Indonesia, yakni baht Thailand, won Korea Selatan, dan yen Jepang.
Dilansir dari Refinitiv, hingga penutupan perdagangan Selasa (25/6/2024) rupiah telah melemah sebesar 6% secara year to date/ytd. Sementara baht anjlok 6,9%, won ambles 7,44%, dan yen tersungkur 13,16%.
Ambruknya mata uang Asia tak bisa dilepaskan dari masih kencangnya laju indeks dolar. Dolar AS masih menjadi rebutan karena bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) belum tahu kapan akan memangkas suku bunga. Di luar kebijakan The Fed, setidaknya terdapat dua alasan yang memengaruhi mata uang mengalami apresiasi maupun depresiasi, yakni suku bunga acuan serta perdagangan.
1. Suku Bunga Acuan
Perubahan tingkat suku bunga suatu negara dapat mendorong investasi oleh mereka yang ingin mengambil keuntungan dari mata uang suatu negara.
Jika pemerintah menawarkan suku bunga yang lebih tinggi pada produk-produk seperti surat utang negara, obligasi korporasi, atau sertifikat deposito, maka para investor yang melakukan pendekatan investasi pendapatan tetap, akan ingin membeli produk-produk ini karena hasil investasi yang lebih tinggi yang mereka tawarkan.
Hal ini meningkatkan permintaan terhadap mata uang yang terapresiasi nilainya.
Sebaliknya, jika suku bunga dalam negeri rendah, dan investor mencari pasar luar negeri yang memiliki suku bunga lebih tinggi untuk meningkatkan keuntungannya. Uang mengalir keluar dari perekonomian domestik, dan meningkatkan pasokan mata uang di pasar valuta asing. Hal ini menyebabkan depresiasi nilai mata uang.
2. Perdagangan
Jika suatu negara mengalami surplus perdagangan, yang berarti mereka mengekspor lebih banyak daripada mengimpor, maka akan ada lebih banyak mata uang dalam negeri yang diminta karena lebih banyak barang dalam negeri yang dibeli oleh pembeli asing. Hal ini akan menyebabkan apresiasi mata uang.
Sebaliknya, defisit perdagangan yang berarti impor lebih tinggi dibandingkan ekspor dapat menyebabkan terdepresiasinya mata uang karena suatu negara harus membeli mata uang asing untuk membeli barang dari negara lain. Ini berarti mata uang domestik kehilangan nilainya.
Di luar dua faktor tersebut, masih banyak alasan melemah dan menguatnya mata uang negara. Di antaranya transaksi berjalan, Neraca Pembayaran Indonesia, kondisi politik, utang sebuah negara, hingga kondisi global.
Lantas apa dampak depresiasi mata uang suatu negara?
Ketika suatu mata uang terdepresiasi, maka barang-barang luar negeri akan tampak relatif lebih mahal dan barang-barang dalam negeri menjadi lebih murah. Daya beli mata uang domestik di pasar luar negeri juga turun. Manfaat depresiasi adalah barang dalam negeri kini terlihat lebih murah di pasar luar negeri sehingga mendorong peningkatan ekspor.
Hal ini akan mendorong surplus perdagangan dan dengan demikian menghasilkan peningkatan ekspor neto.
Peningkatan ekspor berarti produsen dalam negeri menghasilkan lebih banyak pendapatan yang akan meningkatkan arus masuk modal dan mendorong produsen dalam negeri meningkatkan produksi untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini juga meningkatkan permintaan agregat.
Namun disamping dampak positifnya, perekonomian suatu negara pun dapat terguncang dengan pelemahan mata uang domestik, seperti baht Thailand, won Korea Selatan, dan yen Jepang.
Thailand
Dikutip dari McKinsey, perekonomian Thailand mencatat pertumbuhan sebesar 1,5% (year on year/yoy) pada kuartal I- 2024, turun dari pertumbuhan 1,7% yoy yang tercatat pada kuartal sebelumnya.
Hal ini menandai tingkat ekspansi paling lambat di antara negara-negara anggota ASEAN-6. Konsumsi swasta dan investasi swasta mendukung pertumbuhan pada kuartal ini karena ekspor, investasi publik, dan pengeluaran pemerintah mengalami kontraksi.
Konsumsi swasta yang merupakan pendorong perekonomian pada kuartal I-2024 terpantau hanya 6,9% yoy atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 7,4% yoy.
Pengeluaran untuk barang-barang yang tidak tahan lama melemah seiring dengan berakhirnya kampanye Easy E-Receipt, sementara belanja untuk barang-barang tahan lama, termasuk kendaraan, menurun seiring dengan semakin ketatnya pemberian pinjaman oleh lembaga-lembaga keuangan.
Produksi industri juga mengalami kontraksi selama 16 bulan beruntun dan turun sebesar 3,5% yoy pada kuartal I-2024.
Secara khusus, sektor manufaktur tetap lemah karena menyusut sebesar 3%, yang menandai kontraksi kuartalan keenam berturut-turut. Hal ini menyoroti kebutuhan mendesak bagi Thailand untuk beralih ke sektor teknologi tinggi dan memberikan nilai tambah pada ekspornya, mengingat sektor manufakturnya didominasi oleh industri-industri tua yang kurang diminati di pasar global saat ini.
Korea Selatan
Depresiasi won Korea Selatan membuat kekhawatiran tersendiri akan kenaikan harga barang dan jasa semakin meningkat.
Lonjakan harga impor yang dipicu oleh pelemahan nilai tukar mata uang, dikombinasikan dengan penundaan pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve AS (Fed), menjadi faktor pertimbangan utama dalam kebijakan moneter, menunda waktu pelonggaran kebijakan untuk Bank of Korea (BOK).
Diambil dari The Korea Times, beberapa pihak mengatakan mata uang Korea akan anjlok lebih jauh di bawah batasan psikologis yang signifikan yaitu 1.400 won, kecuali jika The Fed bersikap dovish di hadapan bank sentral Korea.
“Mata uang Korea tidak akan mengalami kenaikan terhadap greenback dalam waktu dekat,” kata Chang Min, peneliti senior di Korea Institute of Finance.
Korea Development Institute (KDI) menyampaikan bahwa indikator produksi industri bulanan masih menunjukkan lintasan pertumbuhan yang moderat sehingga ada kemungkinan bahwa pertumbuhan yang sangat tinggi pada kuartal pertama mungkin tidak dapat dipertahankan.
Selanjutnya, permintaan domestik juga tampak tidak menunjukkan tren pemulihan yang jelas dalam konsumsi dan investasi. Stagnasi dalam daya beli riil yang disebabkan oleh lonjakan inflasi yang cepat juga turut berkontribusi terhadap konsumsi yang lesu.
Jepang
Kondisi ekonomi Jepang saat ini kurang baik jika dilihat dari PDB riil pada kuartal I-2024 yang turun sebesar 0,5% secara kuartalan (dengan laju tahunan sebesar 2,0%), mencatat pertumbuhan negatif untuk pertama kalinya dalam dua kuartal terakhir. PDB nominal meningkat sebesar 0,1% secara kuartalan, mencatat pertumbuhan positif untuk kedua kalinya secara berturut-turut.
Konsumsi pribadi pun tampaknya sedang mengalami jeda sebelum memperoleh momentum.
Menurut Estimasi Triwulanan PDB untuk Januari-Maret 2024 (Estimasi Awal Pertama), nilai riil konsumsi pribadi turun sebesar 0,7% dari kuartal sebelumnya. Menurut Indeks Tren Konsumsi (CTI), nilai riil Indeks Tren Konsumsi Total (CTI makro) tidak mengalami perubahan dari bulan sebelumnya pada bulan Maret.
Begitu pula dengan konstruksi perumahan sedang dalam kondisi lemah. Pembangunan rumah milik sendiri telah stagnan belakangan ini. Pembangunan rumah untuk dijual sedang dalam kondisi lemah. Pembangunan rumah untuk disewakan stagnan. Selain itu, jumlah total penjualan kondominium di area metropolitan Tokyo juga menunjukkan kondisi lemah belakangan ini.
Menyangkut prospek jangka pendek, konstruksi perumahan diperkirakan akan tetap dalam kondisi lemah untuk saat ini.
Kurang baiknya ekonomi Jepang juga tercermin dari neraca perdagangan yang mengalami defisit di tengah ekspor yang mengalami jeda dan impor yang cenderung stagnan. Bukan neraca perdagangannya saja, neraca jasa juga terpantau mengalami defisit.***
Foto : pngtree
Editor : Aab Abdul Malik
(Redaksi)