Wartain.com || Luar Biasa! Itu kalimat yang pantas diucapkan bagi Kepala KCD Pendidikan Wilayah V, Lima Faudiamar. Pasalnya, keberanian yang ia tunjukkan pada saat bencana alam melanda Kabupaten Sukabumi, tidak banyak yang mengetahuinya.
Seperti diberitakan sebelumnya, bencana alam yang melanda Kabupaten Sukabumi diakhir Desember tahun 2024 lalu, memakan banyak korban jiwa hingga bangunan rusak. Termasuk bangunan sekolah SMA, SMK dan SLB.
Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Wilayah V Jawa Barat Lima Faudiamar tergerak hatinya untuk meninjau langsung bangunan sekolah yang terdampak bencana di daerah Sukabumi Selatan.
Sebagai pimpinan KCD V yang membawahi seluruh SMA, SMK dan SLB Kota/Kabupaten Sukabumi, ia merasa bertanggungjawab atas keadaan sekolah, siswa dan seluruh warga sekolah lainnya.
Banjir, longsor hingga pergerakan tanah yang dapat membahayakan nyawa tidak membuat surut niat Lima untuk meninjau langsung sekolah-sekolah terdampak bencana. Semuanya dilakukan untuk memastikan gedung sekolah aman, begitu pula tenaga pendidik dan siswanya.
Perjalanan yang penuh tantangan itu dilakukan Lima selama tiga malam dua hari -Jumat 6 Desember 2024 sampai Minggu 8 Desember 2024- melewati berbagai rintangan alam, mulai dari yang ringan sampai yang sangat membahayakan jiwa..
“Awalnya saya melihat bencana ini dari Instagram dan mendapat kabar dari teman bahwa kondisinya semakin parah. Saat itu, saya sedang berada di Bogor, bertugas sebagai Pelaksana Tugas (Plt) KCD II yang membawahi Kota Bogor dan Kota Depok,” ujar Lima saat ditemui di Kantor KCD Wilayah V, Salabintana, Sukabumi.
Ketika mengetahui bahwa Jalan Nyalindung rusak parah akibat banjir, pikiran alumni STPDN ini langsung tertuju pada sekolah-sekolah di wilayah terdampak.
“Saya takut sekolah-sekolah di sana terkena longsor, banjir, atau pergerakan tanah yang membahayakan nyawa tenaga pendidik dan siswa. Saya langsung mempersiapkan peralatan seadanya untuk melihat kondisi mereka.”
Pada Jumat malam, pukul 21.30 WIB, Lima memulai perjalanannya di tengah hujan deras. Bersama seorang teman yang menggunakan motor trail, ia melewati berbagai rintangan seperti longsoran tanah, banjir setinggi betis, hingga bebatuan besar yang jatuh ke jalan.
“Saat melewati Pasirsuren, kami mendengar dentuman keras. Sepatu dan ban motor kami sudah terkena tanah longsoran. Untungnya, kami berhasil melewati tanjakan dengan selamat. Perjalanan ini penuh risiko, tapi demi memastikan keamanan sekolah, saya tetap melanjutkan perjalanan,” kenangnya.
Lima mengunjungi sejumlah sekolah, mulai dari SMAN Simpenan, SMAN Ciemas, hingga SMKN Tegalbuled. Di SMAN Ciemas, ia menemukan tanah di sekitar bangunan yang mulai retak akibat pergerakan tanah. Beberapa ruang kelas terpaksa ditandai agar tidak digunakan demi keselamatan siswa.
“Sampai di SMAN Ciemas kondisinya gelap total, tidak ada listrik. Kita masuk ke dalam sekolah. Ternyata di gedung sebelah kiri ada pergerakan tanah. Tanahnya patah. Saya pun menandai ruang-ruang kelas yang berbahaya dan mengalihkan kegiatan belajar ke ruang yang lebih aman,” tandasnya.
Saat perjalanan kembali, bahaya hampir menimpa Lima. Longsoran tanah menutup jalan yang 15 detik sebelumnya dilalui.
“Bayangkan, hanya selisih 15 detik dari longsoran tanah yang menutup jalan. Kalau kami terlambat 15 detik saja, entah apa yang terjadi. Alhamdulillah, Allah masih melindungi kami. Sebelumnya, batu besar juga hampir menimpa kami dari arah atas,” katanya.
Perjalanan berlanjut hingga Sabtu dini hari. Di beberapa lokasi seperti SMKN Tegalbuled dan SMAN Surade, banjir hampir setinggi dada, dan ruang komputer serta ruang praktik terendam air. Beberapa akses jalan utama terputus, memaksa Lima dan temannya mencari jalur alternatif melalui jalan kampung.
“Di SMAN Sagaranten, kami harus melewati jembatan dengan air yang sudah meluap. Meski lelah dan kehujanan sampai badan basah kuyup, kami terus memastikan kondisi sekolah-sekolah di sana. Perasaan campur aduk antara sedih, takut dan khawatir berkecamuk selama perjalanan. Tapi lebih banyak khawatir terhadap sekolah dan anak-anak. Mereka belajarnya bagaimana nanti,” tuturnya.
Rata-rata, lanjut Lima, sekolah di Pejampangan yang terdampak bencana hanya rusak ringan -plafon bocor dan genting jatuh- seperti di SMAN Sagaranten. Selama perjalanan, istirahat dilakukan bila badan sudah terasa lemas. Istirahat bisa di mushola sekolah, mushola pom bensin atau di bawah pohon rindang sambil makan biskuit sekedar mengganjal perut.
“Sabtu malam kami masuk Purabaya sekitar jam 10 malam, di tengah hujan besar. Kami mau belok kiri arah Pabuaran tapi dapat info dari orang warung, Pabuaran tidak bisa dilewati karena jalannya banjir. Akhirnya kami istirahat di pom bensin. Badan Lelah, makan pun hanya biskuit saja. Sempat tidur di pinggir mushola pom bensin dan bangun subuh pada hari Minggu. Baju basah hanya bawa 3 helai. Handphone sudah mati karena kena air. Tidak berani ngecharge karena kena air takut konslet,” ungkap pria yang hobi olahraga menembak ini.
“Usai mengunjungi SMAN Nyalindung, yang Alhamdulillah tidak ada kerusakan, saya memutuskan untuk pulang. Beruntung kami mengendarai motor karena hari itu tanjakan Nyalindung hanya bisa dilalui kendaraan roda dua saja. Dan Minggu siang, akhirnya sampai ke kantor KCD dengan selamat,” sambungnya.
Selama berkeliling tiga hari tersebut, Lima mengaku tidak membuka identitas dirinya sebagai Kepala KCD Pendidikan Wilayah V Jawa Barat. “Ketika berkeliling bertemu warga atau penjaga sekolah, Saya tidak membuka identitas agar mereka tidak terbebani dengan kedatangan saya. Karena mereka pasti sedang sibuk menangani bencana yang menimpanya. Kalau mereka tau pasti repot menyambut saya. Saya ingin tahu real di lapangan seperti apa adanya dari yang saya liat langsung. Jika ditanya dari mana, saya jawab relawan saja.”
Menyusun Laporan dan Menggalang Bantuan
Setelah kembali ke kantor pada Minggu siang, Lima langsung menyusun laporan kondisi sekolah dan menyampaikannya ke Dinas Pendidikan Jawa Barat pada Senin. Ia juga menghubungi Direktorat SMA dan SMK di Kementerian Pendidikan di Jakarta untuk meminta bantuan.
“Empat hari kemudian, Direktorat SMA menghubungi saya untuk meminta data siswa terdampak, termasuk ukuran baju, sepatu, dan tas. Alhamdulillah, bantuan mulai berdatangan, termasuk peralatan untuk sekolah-sekolah seperti SMK Surade, Tegalbuled, dan Sagaranten,” jelasnya.
Bantuan dari berbagai pihak terus mengalir ke KCD Salabintana, mulai dari perlengkapan belajar hingga bantuan logistik untuk siswa. Lima juga memberikan instruksi kepada kepala sekolah untuk tidak memaksakan kegiatan belajar mengajar, terutama di daerah yang masih rawan bencana.
Pesan dan Hikmah dari Bencana
Lima menyampaikan pesan khusus untuk para guru dan siswa yang terdampak. “Untuk guru dan kepala sekolah, saya meminta agar mereka berhati-hati dan memberikan tanda pada bangunan yang berpotensi membahayakan. Untuk siswa, tetap semangat meski di tengah bencana. Kebutuhan seperti baju dan buku dapat dilaporkan ke sekolah karena bantuan sudah banyak mengalir,” ujarnya.
Ia juga meminta orang tua murid untuk menjaga anak-anak mereka agar tidak berada di tempat yang berbahaya. Selain itu, Lima menekankan pentingnya pembelajaran tanggap bencana di sekolah, terutama di daerah rawan.
“Kita bisa belajar dari Jepang, di mana siswa SD sudah diajarkan cara menghadapi bencana seperti gempa. Ini yang akan kita terapkan di sekolah-sekolah dengan menggandeng BPBD, Basarnas, atau pihak terkait lainnya,” tambahnya.
Bagi Lima, bencana ini menjadi pengingat untuk lebih peduli terhadap alam. “Bencana ini menjadi yang terbesar di Sukabumi. Kita harus menjaga lingkungan karena alam tampaknya sedang memperbaiki diri akibat ulah manusia. Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua,” pungkasnya.
Dengan dedikasi dan keberanian seperti yang ditunjukkan Lima Faudiamar, semangat menjaga pendidikan di tengah bencana menjadi harapan bagi masa depan generasi muda.***
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)