Oleh : Ikin Abdurrahman/Direktur Majelis Dzikir Yayasan Majelis Dzikir Merah Putih
Wartain.com || Alkisah dalam suatu riwayat, Sayyidatina ‘Aisyah RA berkata : “pada suatu malam Rasullalah SAW bangun dan shalat setelah berwudhu”, beliau SAW tidak meninggalkan tempat shalatnya sambil menangis sehingga terdengar suara azan saiyidina Bilal RA, untuk shalat subuh. Aku bertanya kepadanya, Wahai Rasullalah SAW, kenapa engkau menangis ? padahal Allah telah mengampuni dosa engkau yang telah lalu maupun yang akan datang. Beliau SAW menjawab, “tidak bisakah aku menjadi hamba yang bersyukur ? dan kenapa aku tidak berbuat demikian ? sedangkan pada malam ini telah turun ayat padaku” :
{ إِنَّ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّیۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔایَـٰتࣲ لِّأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ () ٱلَّذِینَ یَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِیَـٰمࣰا وَقُعُودࣰا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَیَتَفَكَّرُونَ فِی خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَ ٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَـٰذَا بَـٰطِلࣰا سُبۡحَـٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ }
[Surat Ali ‘Imran : 190-191]
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pada pergantian malam dan siang, ada tanda-tanda (sistem kekuasaan, kebijaksanaan, dan keluasan rahmat Allah) bagi orang-orang Yang berakal;
(Yaitu) orang-orang yang berdzikir (menyebut dan mengingati) Allah (dalam berbagai situasi dan kondisi, yaitu dalam keadaan) berdiri, duduk dan ketika mereka berbaring, dan mereka pula berfikir tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata) : “Wahai Tuhan kami ! tidaklah Engkau menciptakan ini (ruang alam dan waktu serta benda dan peristiwa) dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari adzab neraka”.
(Ali ‘Imran : 190-191)
Selanjutnya Rasulallah SAW bersabda :
ويل لمن قرأها ولم يفكر فيها
“Celakalah bagi orang yang membacanya (ayat ini) dan tidak memikirkannya”
(HR. Ibnu Hibban)
Dalam hadits yang lain menurut riwayat Ibnu Hibban dari Saiyidina ‘Ali Karramalahu wajhah, bahwa Rasulallah SAW bersabda :
لا عبادة كالتفكر
“Tiada ibadah (yang lebih bernilai) seperti berfikir”
(HR. Ibnu Hibban)
Dari ayat dan hadits diatas jelaslah bagi kita Bahwa Tafakkur merupakan sesuatu yang utama dan merupakan ibadah yang sangat agung, lantas apa dan bagaimana tafakkur itu…?
Tafakkur secara bahasa (lughawi) berasal dari akar kalimah Tafakkara – yatafakkaru – Tafakkuran, yang Artinya merenung atau memikirkan (sesuatu, objek).
Adapun Tafakkur secara istilah ialah merenung dan memikirkan segala ciptaan Allah Ta’ala di langit dan di bumi, dan mengarahkan akal kepada keagungan af’al (perbuatan) Sang Pencipta dan kemuliaan sifat-sifat-Nya.
Dikatakan bahwa “bertafakkur adalah pangkal dari segala kebaikan, bertafakkur adalah pekerjaan akal dan hati yang paling utama dan paling mulia. Rasulullah SAW bersabda :
تفكر ساعة خير من عبادة سنة
“berfikir selama satu jam adalah lebih baik dari ibadat selama setahun”.
Dalam hadits yang lain Rasullalah SAW bersabda :
“تفكر ساعة خير من عبادة ستين سنة” ( في رواية أخرى: سبعين سنة)
“Berfikir satu jam itu lebih baik daripada ibadah sunnah selama 60 tahun.” (dalam riwayat lain disebutkan 70 tahun).
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda :
تفكر ساعة خير من عبادة ألف سنة
“Berfikir satu jam lebih baik dari ibadah seribu Tahun”
Begitulah keutamaan dan kelebihan ibadah berfikir (tafakkur) dibanding ibadah lain tanpa tafakkur dengan keutamaan yang berlipat-lipat ganda bahkan Ribuan kali lipat.
Namun kenapa redaksi hadits Rasul diatas berbeda-beda, pada satu hadits Rasul menyatakan bahwa berfikir (tafakkur) satu jam lebih baik dari ibadah setahun, di hadits yang lain lebih baik dari ibadah 70 tahun, bahkan di hadits yang lain lagi lebih baik dari ibadah seribu (1000) tahun.
Sepintas antara satu hadits dengan hadits yang lain terlihat ta’arud (kontradiktif) dan cenderung membingungkan, padahal sebetulnya tidak.
Dalam mengurai tentang ketiga hadits ini Mursyid Agung, Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani Jailani dalam kitabnya Sirrul Asrar menjelaskan ; maksudnya ialah ada tiga (3) tingkatan berfikir (tafakkur) dalam Agama ini, yaitu :
1. Pertama; Tafakur tentang masalah furu’,
2. Kedua; tafakkur dalam masalah pokok-pokok kewajiban, dan
3. Ketiga; Tafakur dalam masalah Ushuluddin atau Tauhid.
PERTAMA : Tafakkur dalam masalah-masalah furu’ (cabang), seperti pada shalat shubuh apakah pake qunut atau tidak, ketika mengawali shalat pake talaffuzh binniat (baca nawaitu/ushalli atau tidak dan seterusnya, maka nilai berfikir (tafakkur) pada masalah furu’ ini adalah lebih besar daripada ibadat setahun.
KEDUA : Tafakkur untuk mengetaui hal-hal yang yang di wajibkan oleh Allah dalam ibadat dan berfikir tentang aturan-aturan ibadah wajib, bagaimana menerapkannya, bagaimana berjuang dan atau berdakwah demi untuk terlaksananya kewajiban-kewajiban tersebut, seperti menegakkan hukum yang berkeadilan, membangun dan menegakkan Sistem Ekonomi sesuai yang dikehendaki Allah dan dipraktekkan Rasulullah dan sebagainya, maka nilai tafakkurnya lebih baik dari ibadah 70 tahun.
KETIGA : Tafakkur untuk meningkatkan tauhid, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah sehingga sampai kapada puncak Ma’rifatulloh, yaitu berfikir dalam masalah ushul atau pokok keimanan, maka nilai tafakkur ini lebih baik dari ibadah 1000 tahun.***
Foto : ilustrasi/Pngtree
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)