Oleh : Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan
Wartain.com || Di langit malam ilmu yang agung, Tuhan menyalakan bintang-bintang. Mereka tak menjatuhkan sinar untuk diperebutkan, tak meminta disembah, tak menyulut perang.
Mereka hanya bersinar—diam-diam namun pasti—agar manusia yang mencari Tuhan tidak kehilangan arah di padang ragu. Di antara bintang-bintang itu, bersinarlah para imam mazhab: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i, Ahmad bin Hanbal, dan Ja‘far ash-Shadiq. Mereka bukan pendiri tembok.
Mereka bukan pengukuh sekat. Mereka adalah penjaga cahaya, pelayan petunjuk, dan pewaris gemetar wahyu yang memancar dari Rasulullah SAW.
Cintaku, mari kita kenang mereka dengan cinta yang bebas dari fanatisme, dan dengan hormat yang berakar dari ruh, bukan dari nama dan warisan kelompok. Karena sesungguhnya para imam itu sendiri tak ingin dijadikan simbol perpecahan.
Mereka tak meminta agar mazhab mereka dimutlakkan. Mereka adalah manusia yang takut pada Tuhan lebih dari takut pada kesalahan akal mereka. Dan justru karena itulah, mereka menjadi lentera.
Abu Hanifah, seorang ahli ra’yu yang lembut, menampik kediktatoran nalar. Ia menimbang, bertanya, memeriksa, namun tetap berkata: “Ini pendapatku, ini yang paling benar menurutku.
Tapi jika ada yang lebih benar, tinggalkan aku.” Betapa rendah hati. Betapa jauh ia dari para pengikutnya hari ini yang dengan bangga membawa nama besar sang imam hanya untuk membataskan kebenaran dalam sekat logika mazhab. Padahal, sang imam sendiri telah mewariskan kunci: carilah yang lebih benar.
Imam Malik, sang penjaga sunah Madinah, memeluk tradisi Nabi seperti seseorang memeluk bau tubuh ibunya. Tapi ia pun mengakui: “Semua ucapan bisa diambil dan ditolak kecuali ucapan Nabi.” Ia tidak sakralkan dirinya. Ia tidak pasang pagar. Ia tahu bahwa cahaya Nabi tidak bisa dikepung oleh satu kota, satu kitab, atau satu mazhab.
Imam Syafi‘i, sang penyair yang fasih dalam dalil, begitu takut salah hingga ia selalu membiarkan celah bagi kemungkinan kebenaran yang belum sempat ia jangkau. Ia berkata, “Jika pendapatku menyelisihi hadis shahih, buanglah pendapatku ke tembok.” Bukan karena ia merendahkan akalnya, tapi karena ia tahu: Tuhan tak pernah bisa dibingkai oleh satu sudut pandang.
Imam Ahmad bin Hanbal, sang mujahid yang teguh, berdiri sendiri ketika seluruh istana memaksakan pemahaman rasionalistik tentang al-Qur’an. Ia tidak mengikuti kekuasaan. Ia tidak tunduk pada mayoritas. Tapi ia juga berkata: “Jangan fanatik padaku. Ikutilah kebenaran walau datang dari siapa pun.” Karena ia tahu, kebenaran tidak punya baju resmi. Ia muncul kadang dari lidah orang kecil, kadang dari batin orang sepi.
Dan Imam Ja‘far ash-Shadiq, cucu Rasul yang lembut dan dalam, menanam ilmu bukan hanya di kepala, tapi juga di kalbu. Ia tidak membatasi ilmu hanya pada keturunan atau kelompok, tapi memancarkannya bagi siapa pun yang siap menadah. Ia mewakili jembatan antara syariat dan hakikat, antara teks dan rahasia. Ia tahu: wahyu tidak hanya huruf, tapi juga ruh.
PNamun, cintaku, lihatlah apa yang terjadi kemudian. Nama-nama mulia itu dirantai oleh pengikut-pengikut fanatik. Mazhab-mazhab dijadikan pagar. Ilmu dijadikan senjata. Jalan menuju Tuhan kini dipenuhi panji-panji golongan. Padahal para imam tidak ingin menjadi panji. Mereka ingin menjadi cahaya. Tapi sejarah manusia lebih mencintai simbol daripada substansi, lebih menyukai kubu daripada kebenaran.
Karen Armstrong, tokoh Barat yang menulis sejarah agama, mencatat agama dengan simpatik. Tapi tetap saja, ia melihat agama sebagai produk sejarah manusia, bukan sebagai letupan Ilahi yang tak terjangkau oleh logika dunia. Dalam tulisannya, agama tampak seperti serpihan peristiwa, bukan nyanyian jiwa. Ia menggambarkan para nabi dan pemikir agama dalam kerangka konflik, bukan kasih.
Begitu pula tokoh-tokoh lain seperti Hamilton, dan banyak pemikir modern yang mencoba menjelaskan agama lewat pendekatan rasional, antropologis, atau sosiologis belaka. Mereka melihat agama seperti arkeolog melihat tulang purba—benda yang sudah mati. Mereka tidak mencium harum ruhnya. Mereka tidak merasakan denting getarannya di dada.
Mereka lupa bahwa agama bukan hasil konflik, tapi panggilan cinta. Para imam tidak berdiri karena ingin membelah umat. Mereka berdiri karena ingin menjembatani langit dan bumi. Mereka bukan pemilik kebenaran. Mereka adalah pencinta kebenaran. Dan cinta sejati, cintaku, tidak membatasi. Ia justru membimbing.
Di tengah dunia yang tercerai-berai ini, kita harus kembali kepada cahaya itu. Bukan sekadar mengikuti pendapat, tapi mengikuti cara para imam itu memandang kebenaran. Yakni dengan takut, dengan cinta, dan dengan kerendahan hati. Jangan kita mengkultuskan mazhab lalu membenci sesama.
Jangan kita memutlakkan satu tafsir lalu membatalkan hakikat. Jangan kita jadikan agama sebagai identitas kelompok, tapi biarlah ia kembali menjadi suara Tuhan yang memanggil jiwa.
Para imam itu tak menyuruh kita menjadi pengikut mereka. Mereka menyuruh kita mencari Tuhan. Mereka mewariskan kita bukan jawaban mati, tapi jalan hidup. Dan jalan itu terbuka bagi siapa saja yang haus akan hakikat.
Cintaku, mari kita buka jendela malam. Lihatlah langit ilmu. Di sana para imam masih bersinar. Mereka bukan untuk disembah. Mereka untuk diteladani dalam cara mereka takut pada kesalahan, dan cinta pada kebenaran. Dan bila kita sungguh-sungguh, bintang-bintang itu akan menuntun kita. Bukan pada mereka—tapi pada Dia.
Karena agama yang sejati, kata mereka, bukan berhenti pada pendapat siapa pun. Ia adalah gerakan hati menuju Tuhan. Dan Tuhan tidak bisa dipagari oleh siapa pun.***
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)