Oleh : Bob Arun Randilawe, M-Hum/ Waketum GBN
Wartain.com || Sejak tanggal 8 November 2024, kesekjenan DPR RI di bawah komando Dr. Indra Iskandar, setiap pagi memutar lagu kebangsaan Indonesia Raya (Karya WR Soepratman) di semua area gedung nusantara 1, 2, dan 3 termasuk area parkir komplek DPR/MPR Senayan. Judul tulisan ini menggunakan idiom “Senayan” yang berarti seluruh kompleks perkantoran dan anggota DPR/DPD/MPR hasil pemilu legislatif beserta kinerjanya.
Dengan kata lain, bicara tentang “Senayan” berarti membicarakan kiprah para politisi serta produk legislasi, pengawasan dan penganggaran pembangunan. Perlu dicatat, usulan mengumandangkan Indonesia Raya untuk seluruh kantor BUMN dan diterapkan melalui kebijakan Menteri BUMN. Usulan ‘patriotik’ ini sebelumnya disampaikan anggota Komisi VI DPR RI F-Gerindra, Kawendra Lukistian saat rapat Komisi VI dengan Menteri Erick Thohir.
Saat ini masih banyak agenda legislasi yang harus dituntaskan. Seperti tersusun dalam Prolegnas DPR. Diantaranya: RUU Perubahan UU No.7 tentang Pemilihan Umum; RUU Perubahan atas UU No.10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; RUU Perubahan UU No. 2 tahun 2011 tentang Partai Politik; RUU Pertanahan; RUU Perubahan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI; RUUPerubahan UU No.24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan; RUU Perubahan UU No. 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah; RUU Perubahan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; RUU BUMN; RUU Energi Baru dan Terbarukan; RUU Ketenagalistrikan; RUU Integrasi Data Pembangunan; RUU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; RUU Penghapusan Piutang Negara; serta puluhan RUU lainnya yang mendesak untuk dituntaskan, agar pembangunan nasional melaju cepat namun tetap mengindahkan etika bernegara dan berkonstitusi.
Jangan sampai, mengejar target namun “menabrak” etika dan mengakali konstitusi. Akhirnya menjadi preseden buruk yang berdampak pada tingginya social cost recovery seperti pada proses Pilpres 2024 lalu.
Di mana sempat terjadi “turbulensi” terkait beberapa putusan konstitusi Mahkamah Konstitusi atau MK. Dampak yang harus dibayar sebagai pemulihan biaya sosial adalah diperlukan langkah-langkah terencana dan konsisten dari Presiden terpilih beserta jajaran kabinetnya untuk melakukan “pemulihan” demokrasi dan konstitusi pasca Pilpres 2024, yang wajib menjadi atensi bersama agar tidak terulang lagi di kemudian hari, yaitu menempatkan kepentingan “keluarga ” di atas kepentingan bangsa dan negara.
Ada Apa Dengan Nasionalisme Kita?
Apakah nasionalisme kita sedang tidak baik-baik saja? Atau sedang lesu darah sehingga perlu dipompa dari “Senayan”? Tentu saja, pihak kesekjenan DPR memiliki alasan mengapa kebijakan yang sebenarnya sederhana itu diterapkan.
Selama ini lagu Indonesia Raya hanya diputar saat acara atau kegiatan resmi kenegaraan. Baik di istana, atau kantor-kantor pemerintahan. Tentu saja setiap hari. Tertentu saja waktunya.
Kebijakan ini sepintas biasa saja. Namun, bisa jadi hal ini adalah satu-satunya di antara semua instansi. Di situlah menariknya.
Tulisan ini mencoba membaca mengapa kebijakan itu ditempuh. Mungkin diharapkan agar rasa patriotisme dan sikap nasionalisme para “penghuni Senayan” terpompa kembali. Agar kepentingan bangsa dan negara kembali didahulukan di atas kepentingan pribadi, “keluarga” dan partai.
Kebijakan pemutaran lagu kebangsaan ini seolah merespon sikap “patriotik” Presiden Prabowo saat menyampaikan pidato perdana setelah dilantik sebagai Presiden RI ke-8 di “Senayan”. Pidato perdana itu ditonton secara luas, nasional bahkan internasional. Pidato itu seakan memberi garis demarkasi antara masa “kegelapan” era penguasa sebelumnya, dengan masa depan, bersama Prabowo dan kabinetnya. Demarkasi antara era “ketidakpastian” hukum dan konstitusi, menuju tata kelola bernegara dan berbangsa secara lebih beradab dan berkepastian hukum. Tanpa kepura-puraan dan tipu-muslihat yang penuh kejutan.
Nasionalisme adalah elemen pokok berbangsa. Konstitusi adalah elemen terpenting dalam bernegara. Nasionalisme seharusnya menjadi “supervisi” bagi tata kelola bernegara dalam prinsip-prinsip teknokrasi. Nasionalisme adalah spirit, dan konstitusi sebagai landasan bernegara secara modern dan teknokratis.
Nasionalisme sebagai “roh” bernegara, teknokrasi sebagai instrumen untuk mewujudkan cita-cita pendirian negara. Nasionalisme tidak akan berfungsi untuk mewujudkan cita-cita pendirian bangsa tanpa tata kelola penyelenggaraan negara secara teknokratis. Sebaliknya, teknokrasi tanpa nasionalisme —national interest—- adalah cenderung mekanis dan birokratis tanpa “roh” bernegara.
Upaya merevitalisasi nasionalisme harus kolektif dan sinergis. Pertanyaannya, bagaimana memastikan bahwa “pemutaran lagu” Indonesia Raya di senayan itu akan berdampak kepada produk legislasi yang lebih mengedepankan kedaulatan bangsa, yang konsisten memperjuangkan kepentingan Rakyat daripada kepentingan kaum pemodal (kapitalis) atau oligarki.
Tentu saja, masyarakat dan konstituen mengharapkan hadirnya kembali lembaga perwakilan rakyat yang mumpuni dan berani menolak dikte asing bila ingin mendikte atau merusak kedaulatan kita yang “menyelundup” melalui regulasi dan pasal-pasal dalam Undang-Undang. Lembaga perwakilan rakyat yang anggotanya tidak bermewah-mewah seolah-olah menunjukkan “kasta-sosial atas” dalam masyarakat, sementara rakyat pada umumnya hidup dalam jujur. sama pernah, dan mungkin masih bisa kita menyaksikan halaman parkir “Senayan” bak showroom mobil mewah yang secara tidak langsung menunjukkan jati-diri anggota para wakil rakyat.
Tentu saja, rakyat hanya bisa mengelus dada, prihatin bila melihat para wakilnya hidup dalam kemewahan yang seharusnya tidak patut dilakukan dan dipertontonkan kepada rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan.
Bravo kesekjenan DPR yang telah memulai sesuatu yang mungkin sederhana namun akhirnya membawa dampak yang signifikan. Sesuatu yang layak direplikasi oleh kelembagaan negara lainnya baik di lingkungan eksekutif maupun yudikatif. Signifikan berarti meningkatnya derajat keterwakilan rakyat serta terumuskannya produk-produk legislasi atau UU yang sungguh-sungguh mewakili amanat penderitaan rakyat Indonesia dan senafas dengan Pembukaan UUD45.
Hadirnya wakil-wakil rakyat yang nasionalis yang berjiwa kerakyatan serta berkhidmad kepada “tuannya” yaitu Rakyat (dengan R besar). Bukan kumpulan pengejar harta dan status sosial yang “berbaju wakil rakyat”. (***)
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(AAS)