Wartain.com || Menyikapi Revisi Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 yang saat ini tengah digodok pemerintah dan DPR menjadi perhatian publik, termasuk Wasekjend DPP Partai Hanura Bidang Lingkungan Hidup, Budi Hermansyah.
Saat dihubungi redaksi, Budi menyampaikan, “rencana revisi ini harus dijadikan kesempatan terbaik untuk memperbaiki tata kelola sektor perhutanan yang selama ini penuh persoalan, mulai dari maraknya ilegal logging, perambahan kawasan hutan sehingga menimbulkan konflik agraria yang berlarut, hingga alih fungsi lahan hutan yang tidak terkendali yang menyebabkan deforestasi yang terus meningkat,” ungkapnya, Sabtu 11/10/2025.
“Bahkan jangan sampai revisi tersebut bukannya memperkuat perlindungan kawasan hutan, malah rancangan revisi tersebut justru menimbulkan kekhawatiran baru, yang bisa melemahkan kontrol dan perlindungan terhadap kawasan hutan,” tegasnya.
Yang lebih mengkhawatirkan revisi ini jangan sampai membuka celah bagi eksploitasi berlebihan dan berpotensi melemahkan posisi masyarakat adat maupun masyarakat desa hutan yang hidup bergantung pada keberadaan hutan. Bila hal itu terjadi, maka revisi UU Kehutanan hanya akan memperdalam ketimpangan dan memberi ruang lebih besar bagi kepentingan modal besar dibanding kepentingan publik.
Untuk mencegah hal tersebut terjadi, harus dipastikan salah satu aspek krusial yang harus ada dalam draf revisi adalah keberadaan pemantau independen yang sejak lebih dari satu dekade, pemantau independen telah memainkan peran penting dalam memantau dan memastikan akuntabilitas tata kelola kehutanan di Indonesia.
Sejak era reformasi, pengawasan terhadap sektor kehutanan tidak lagi bisa diserahkan hanya kepada aparat negara. Skandal pembalakan liar, perambahan kawasan hutan, hingga praktik korupsi dalam pemberian izin menegaskan bahwa sistem pengawasan internal pemerintah tidak cukup. Di sinilah pemantau independen hadir.
Pemantau independen adalah organisasi masyarakat sipil, jaringan aktivis, akademisi, dan komunitas lokal yang bekerja untuk mengawasi, mendokumentasikan, dan melaporkan praktik pengelolaan hutan. Mereka berfungsi sebagai mata masyarakat sipil, mengisi kekosongan yang sering ditinggalkan oleh aparat negara.
“Mengabaikan peran mereka berarti menutup mata terhadap salah satu elemen fundamental dalam menjaga hutan tetap lestari dan adil bagi generasi sekarang maupun mendatang,” ujar Budi mengakhiri percakapannya.***
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)
