26.7 C
Jakarta
Senin, November 10, 2025

Latest Posts

Ekonomi Purbaya Hidup

Oleh : Radhar Tribaskoro/ Ketua Komite Kajian Ilmiah Forum Tanah Air

Wartain.com || Apa mazhab ekonomi Purbaya? Betulkah ia sedang membangun rezim moneterisme sebagaimana dipopulerkan oleh Milton Friedman? Saya kira tidak. Ia terlalu matang untuk terjebak dalam kontroversi madzhabiah,

Walau begitu Purbaya telah mengubah cara negara memandang uang. Perubahan itu tidak riuh, tidak penuh slogan, dan tidak muncul dalam bentuk program besar yang diumumkan di panggung. Ia hadir dalam langkah-langkah administratif, sidak senyap, koreksi sistem pajak, dan seruan kepada pemerintah daerah. Tetapi jika diperhatikan dengan teliti, kita melihat pola yang jelas: negara sedang menggeser orientasi ekonominya dari *‘menjaga uang’ menjadi ‘menggerakkan uang.’*

Selama lebih dari dua dekade, asumsi dasar ekonomi Indonesia relatif sama: stabilitas fiskal adalah fondasi utama. Defisit harus dijaga, belanja harus hati-hati, cadangan harus aman, dan sebagaimana sering diulang oleh teknokrat, yang penting APBN kuat. Pendekatan ini berhasil menjaga kepercayaan pasar dan menahan gejolak krisis global. Namun ia juga punya sisi lain: aliran uang menjadi lambat. Uang lebih banyak disimpan daripada diputar. Dan ekonomi yang tumbuh perlahan mulai kehilangan energinya di akar rumput.

Kita melihat gejalanya dalam angka yang jarang menjadi sorotan publik: *velocity of money* — kecepatan uang berpindah tangan dalam perekonomian. Bank Indonesia mencatat, velocity Indonesia turun dari sekitar 8,5 pada 2011 menjadi sekitar 6,0 pada 2023. Uang yang sama kini menghasilkan lebih sedikit transaksi. Ada aktivitas, tetapi arusnya lemah; seperti sungai yang masih penuh air, namun permukaannya tenang dan dasarnya mulai mengendap lumpur.

Pada saat yang sama, APBD daerah yang mengendap di perbankan daerah mencapai sekitar Rp 250 triliun pada beberapa periode anggaran. Uang itu tidak hilang — ia sekadar diam. Diam di rekening bank. Diam menunggu prosedur. Diam demi kehati-hatian. Diam dalam nama stabilitas.

Padahal, seperti yang pernah dikatakan Amartya Sen, statistik dapat menenangkan pemerintah, tetapi tidak selalu menenangkan perut manusia.

Langkah Strategis Menkeu Purbaya

Dalam konteks ini, langkah-langkah Purbaya Yudhi Sadewa — Menkeu baru — menjadi menarik untuk diperhatikan. Ia memandang uang bukan sebagai sesuatu yang harus diamankan lebih dulu, tetapi sebagai energi yang harus dialirkan agar ekonomi hidup. Dan dari sinilah serangkaian kebijakannya dapat dipahami sebagai satu proyek intelektual: mengembalikan arus.

Pertama, kritiknya terhadap APBD parkir di bank. Bagi sebagian pemerintah daerah, saldo APBD yang tinggi dianggap sebagai tanda kinerja keuangan yang baik — bahkan dapat menghasilkan bunga tambahan yang mempercantik laporan. Purbaya justru mengatakan: “APBD bukan instrumen investasi. APBD adalah mesin penggerak ekonomi daerah.”

Artinya jelas: uang daerah bukan untuk disimpan, tetapi untuk dibelanjakan. Ketika APBD dibelanjakan, warung makan bekerja, tukang material bekerja, pabrik semen bekerja, bengkel alat berat bekerja, dan UMKM lokal masuk kembali dalam sirkulasi. Belanja daerah adalah denyut kehidupan ekonomi lokal.

Ketika ia berhenti, velocity jatuh dan seluruh kawasan melemah

Kedua, sidak ke Bea Cukai. Banyak orang membaca ini sebagai persoalan pemberantasan pungli. Sebagian menganggapnya sebagai bagian dari penegakan disiplin birokrasi. Namun esensinya lebih dalam: Bea Cukai adalah pintu aliran barang. Ketika pintu itu tersumbat oleh ketidakpastian, biaya tambahan, atau intervensi informal, uang yang telah dikeluarkan pelaku usaha untuk produksi tidak mengalir kembali menjadi pendapatan — melainkan membeku menjadi biaya tunggu.

Sidak itu adalah upaya melancarkan katup aliran ekonomi

Ketiga, percepatan implementasi Coretax. Sistem perpajakan yang lambat, ambigu, atau penuh ruang negosiasi menciptakan friksi transaksi. Pelaku usaha menunda keputusan, ekspansi tertahan, kredit tidak dicairkan, dan uang berhenti di tengah jalan. Coretax bukan hanya sistem pajak digital — ia adalah infrastruktur kepastian yang membuat uang berani bergerak.

Tidak semua orang berani berinvestasi. Tetapi hampir tidak ada orang yang berani berinvestasi tanpa kepastian.

Keempat, ancaman menarik dana negara dari BUMN yang penyerapan anggarannya rendah. Selama ini, dana pemerintah yang ditempatkan di BUMN sering memperindah neraca tetapi tidak mengalir menjadi kegiatan ekonomi. Purbaya mengirim pesan yang sangat sederhana: “Uang negara bukan kosmetika laporan keuangan.”

Dana itu harus bergerak, menjadi barang dan jasa, menjadi upah, menjadi pembelian, menjadi transaksi. Ia harus hidup.

Jika kita rangkum, maka benang merahnya jelas:

Purbaya sedang memindahkan orientasi ekonomi dari ‘rezim penumpukan’ menjadi ‘rezim perputaran.’

Tetapi apakah ia sedang menegakkan rezim moneterisme dalam kebijakan ekonomi negara? Purbaya bukan sedang menggantikan kebijakan fiskal dengan kebijakan moneter. Ia justru keluar dari moneterisme steril yang terlalu lama menganggap uang sebagai angka neraca.

Orientasi lama:

– Stabilitas lebih penting daripada dinamika
– Dana pemerintah lebih baik diam daripada salah sasaran
– Risiko dihindari bahkan ketika stagnasi terjadi

Orientasi baru:

– Dana harus bekerja
– Velocity adalah variabel tujuan, bukan sekadar statistik
– Ekonomi yang hidup lebih sehat daripada ekonomi yang aman tetapi lamban

Inilah ekonomi arus, ekonomi yang percaya bahwa nilai uang bukan terletak pada kemampuannya disimpan, tetapi pada kemampuannya mengalir.

Sebagian akan berkata: pendekatan ini berisiko. Itu benar — setiap aliran membawa risiko. Tetapi stagnasi juga membawa risiko, hanya saja ia lebih senyap, lebih lambat, dan lebih sulit disadari.

Stagnasi mematikan perlahan. Ia memotong pendapatan dulu, lalu harapan, lalu legitimasi politik. Dan pada titik itu, bukan ekonomi saja yang goyah — demokrasi pun ikut kehilangan pijakannya.

Karena itu, pertanyaan yang lebih tepat bukanlah:“Apakah kebijakan ini berani?”, melainkan: *“Apakah kita masih bisa menunda pergerakan?”*

Sebab, pada akhirnya:
– Negara bukan gudang uang.
– Negara adalah mesin aliran energi sosial-ekonomi.

Dan mesin hanya berarti bila ia bergerak. Uang yang disimpan adalah uang yang menua. Uang yang mengalir adalah uang yang hidup.

Dan mungkin — di titik inilah — kita sedang menyaksikan kebijakan ekonomi Indonesia belajar untuk hidup kembali.***

Editor : Aab Abdul Malik

(Dul)

Latest Posts

spot_imgspot_img

Don't Miss

Stay in touch

To be updated with all the latest news, offers and special announcements.