26.7 C
Jakarta
Selasa, April 1, 2025

Latest Posts

Langkah-langkah Menemukan Guru Mursyid

Oleh : Ikin Abdurrahman/Direktur Majelis Dzikir Dan Sholawat RI 1 Prabowo Subianto

Wartain.com || Basmalah…Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Ingin Menemukan Guru Mursyíd…?

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Kasih lagi Maha Sayang.

Mari Menemuinya 

Sahabat, jika sekarang, misalkan di pasar dekat rumah kita, ada seorang yang penuh penyakit kulit. Penampilannya menjijikkan. Kemana-mana dirubungi lalat dan belatung. Ia tinggal di gubuk sebagai seorang gelandangan. Jika ia mengatakan bahwa ia membawa risalah Allah, maukah kita mengikutinya ? Mungkin tidak, karena penampilannya sangat jauh dari ’soleh’.

Jika tetangga kita sekarang, di RT sebelah misalkan, seorang yang dikucilkan oleh masyarakat. Di atap rumahnya membangun perahu, dan setiap hari kerjanya berteriak-teriak bahwa 6 bulan lagi akan banjir. Setiap hari ia menjadi bahan ejekan masyarakat dan tetangga anda. Akankah kita mengikutinya ? Atau ikut menertawakannya ?

Jika di negara kita ada seorang panglima berusia 20-an tahun, yang mengatakan bahwa dia membawa perintah Tuhan untuk menyebarkan risalah-Nya, sementara dia senantiasa memimpin pasukannya ke negara tetangga dengan membantai, menyiksa, atau mengampuni dan memaafkan, benar-benar sesuka hatinya. Akankah kita mengikutinya ?

Seorang tua yang hidup di tepian padang gersang, menggembala kambing-kambingnya. Setiap hari hanyalah beternak, dan menimba sumur untuk ternaknya. Hidup di gubuk, jauh dari kota. Miskin, tua renta. Tidak punya apapun yang bisa ditawarkan. Jika ia mengatakan bahwa ia bisa membimbing anda menuju Allah, apakah anda mau menjadi muridnya?

Seorang anak muda pendiam, bergaul seperlunya saja, tidak suka ‘kumpul-kumpul’. Kerjanya merenung. Alim, tapi pendiam. Sering pergi memencilkan diri ke pinggir kota. Anak muda itu secara sensasional tiba-tiba menikahi janda tua yang sangat cantik dan kaya, dan ia pun mendadak menjadi kaya raya pula karenanya. Lalu ia mengatakan bahwa ia telah bertemu malaikat, dan mengatakan bahwa anda harus mengikutinya agar selamat. Ikut kah anda ?

Seorang berpenampilan gelandangan, pakaiannya lusuh dan kotor. Pekerjaannya tak jelas. Sering terlihat di pasar. Hanya kadang ia membantu membersihkan mesjid supaya boleh tidur di dalamnya. Maukah anda mengangkatnya sebagai pembimbing spiritual ?

Seorang muda tampan, berpenampilan soleh, bersih dan alim, sangat ukhrawi, miskinnya luar biasa, hartanya hanya cangkir dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Tapi ia amat sangat dekat dengan seorang pelacur dan selalu membelanya mati-matian dari cemoohan masyarakat. Percayakah anda padanya, jika dia mengatakan bahwa ia adalah seorang nabi ?

Alkisah, renungan tafakur kita mulai dan semoga berangkat dari sini kita temukan guru sejati, hingga dzikir kita tiada henti.

Tahukah anda, bahwa kakek berpenyakit kulit, bau dan penuh belatung yang hidup di pinggir pasar tadi seperti Nabi Ayyub AS pada zamannya ?

Tetangga yang membangun perahu di atap rumahnya, ditertawakan dan dibodoh-bodohi masyarakat, posisinya adalah seperti Nuh AS pada zamannya dahulu.

Panglima 20-an tahun yang sesuka hatinya membantai atau menyiksa, juga mengampuni dan memaafkan, adalah Iskandar Zulkarnain, seorang yang menyebarkan kebenaran di sepanjang Asia, Timur Tengah hingga Eropa. Ia dibebaskan Allah untuk menyiksa ataupun mengampuni sesukanya, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Alkahfi (18) ayat 86 :

قُلْنَا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِمَّآ اَنْ تُعَذِّبَ وَاِمَّآ اَنْ تَتَّخِذَ فِيْهِمْ حُسْنًا.

Kami berfirman, “Wahai Dzulqarnain, engkau boleh menghukum atau berbuat kebaikan kepada mereka (dengan mengajak mereka beriman).” (QS. Al-Kahfi : 86).

Orang tua miskin di gurun adalah Syu’aib AS, mursyid dari salah satu nabi terbesar, Musa AS, Nabi yang dihormati agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Anak muda asosial, yang pendiam dan kaya mendadak karena menikahi janda tua yang kaya kemudian mengaku bertemu malaikat, adalah Rasulullah SAW, mursyid agung tertinggi yang pernah ada.

Gelandangan bau dan kotor, yang hanya membawa-bawa seruling dan ‘nongkrong’ di pasar, adalah Syamsuddin At-Tabrizy, mursyid dari wali besar Jalaluddin Rumi.

Anak muda soleh dan tampan, sangat ukhrawi yang dekat dengan seorang pelacur adalah Nabi Isa AS, dan pelacur insaf itu adalah Maria Magdalena.

Coba posisikan diri kita sebagai masyarakat yang ada pada zaman mereka masing-masing. Mampukah kita melihat kebenaran yang mereka bawa ?

Percayakah kita, jika kita hidup di zaman itu, bahwa mereka adalah para kekasih Allah, yang bisa menunjukkan pada kita ruas jalan taubat ? Akankah kita mengikuti mereka ?

Siapakah kita, yang berani menentukan kriteria kekasih Allah ? Dia SWT berhak menyukai siapa saja, sesuka-Nya. Mengatur para kekasih-Nya berpenampilan seperti kehendak-Nya. Kenapa kita berani mengatur, apalagi dengan standarisasi nilai yang kita buat sendiri, bahwa seorang kekasih Allah pastilah berseri-seri, ramah, selalu tersenyum? Berjubah, atau berjanggut ? Pasti hidupnya berhasil secara duniawi maupun ukhrawi ? Alangkah lancang dan sombongnya kita.

Kita sendirilah yang menciptakan penghalang (hijab), tabir dan filter yang kita ‘bikin-bikin’, sehingga justru menutup dan menghalangi kita dari jalan kebenaran. Kita menciptakan ‘waham kesalehan’ sendiri. Waham, ilusi, dan halusinasi yang justru dapat menjauhkan kita dari gerbang-Nya. Kita telah tertipu oleh ’standar jaminan mutu kesalehan’ yang di bangun dunia ini.

Belum tentu seorang yang mampu menuntun kita menuju Allah, sesuai dengan kriteria yang kita buat sendiri. Belum tentu ! Memang ada para kekasih-Nya yang berpenampilan seperti yang kita golongkan sebagai ‘yang baik-baik’, tapi ada pula yang sama sekali tidak demikian. Mereka disamarkan-Nya (tasyrif) karena dilindungi Allah. Dilindungi dari para peminta berkah, dari orang-orang yang sedikit sedikit meminta tolong dan bantuan, minta dagangannya laku, minta dido’akan supaya dapat jodoh, minta sakitnya disembuhkan, diobati saudaranya yang kesurupan, konsultasi posisi politik, dan segala permintaan tetek bengek lain yang sifatnya ‘menghilangkan derita’ saja, bukan minta dibimbing menuju Allah. Bukan minta diajarkan bertaubat !!!
Padahal TAUBAT adalah Pijakan Pertama Mendapatkan “Irsyàd, Bimbingan dari Guru Mursyíd dan Langkah Pertama dalam menjadi Spiritualis Sejati !

Jika semua dibuka dengan mudahnya, bayangkan berapa orang yang datang mengantri setiap sa’at dengan tujuan tak jelas ? Tanpa biaya pula !!!

Allah pun, dari 99 namanya, terbagi menjadi dua jenis. Yang ‘Jamàl’, yang ‘ramah’, yang indah, yang enak kedengarannya. Contohnya adalah Maha Penyayang, Maha pengampun, Maha Sabar, dan semacamnya. Tapi Dia juga memiliki nama-nama yang ‘Jalàl’, yang ‘agung’, yang keras, yang ‘menyeramkan’ dalam sudut pandang kita, seperti Maha Pedih Siksanya, Yang Maha Membalas, Yang Maha Keras, Yang Maha Mengalahkan, Yang Maha Menghinakan, Yang Maha Memaksa, dan sebagainya.

Setiap makhluk membawa potensi kombinasi dari 99 nama-nama-Nya, termasuk pula para wali-kekasih-Nya. Mengapa kita melabelkan pada diri kita sendiri bahwa ‘Kekasih Allah pastilah ramah, enak, baik, wangi, bersih, bla-bla-bla !?’ Ada yang demikian, ada pula yang tidak.
Perhatikan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat (25) ayat 20 :

وَمَآ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ اِلَّآ اِنَّهُمْ لَيَأْكُلُوْنَ الطَّعَامَ وَيَمْشُوْنَ فِى الْاَسْوَاقِۗ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةًۗ اَتَصْبِرُوْنَۚ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيْرًا.

Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum mu (Nabi Muhammad), melainkan mereka pasti menyantap makanan dan berjalan di pasar. Kami menjadikan sebagian kalian sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kalian bersabar ? Dan, adalah Tuhanmu Maha Melihat. (QS. Al-Furqan : 20).

Seharusnya ini cukup

Sedangkan manusia terkadang sombong, merasa perlu malaikat atau mu’jizat untuk meyakinkan dirinya. Mereka menolak rasul yang ‘wajar’. Inginnya yang ‘malaikati’ atau ‘mukjizati’. Padahal jika dia tidak mengikuti pun, kemuliaan Allah sama sekali tidak akan berkurang. Allah tidak rugi apapun.
Pada Ayat 7 Surat Al-Furqan Allah SWT berfirman :

وَقَالُوْا مَالِ هٰذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِيْ فِى الْاَسْوَاقِۗ لَوْلَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُوْنَ مَعَهٗ نَذِيْرًاۙ.

Mereka berkata, “Mengapa Rasul (Nabi Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia”.
(QS. Al-Furqan : 7).

Pada hadits Muslim 1972 (8: 154) :
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Banyak sekali orang yang kelihatannya compang-camping (hina di mata masyarakat), tidak diperkenankan memasuki pintu seseorang, tetapi kalau dia berdo’a kepada Allah, niscaya Allàh akan mengabulkan do’anya.”
(HR. Muslim).

Lalu apa ciri utama seorang Mursyid atau Guru Sejati yang layak diikuti itu ?

Ciri utama dari seorang yang harus anda ikuti bukanlah senyumnya, wajahnya yang bersih, dan sebagainya. Para Tiran dan Diktator-pun wajahnya nampak bersih dan penuh senyum. Fir’aun pun sangat gagah dan tampan. Iblis pun, apakah akan datang ke kita selalu bertanduk, berpakaian api, membawa tombak trisula dan berekor panah ?

Dia tidak sebodoh itu. Jika penampilannya monoton dan tidak kreatif seperti itu, tentu saja kita akan dengan sangat mudah mengetahui bahwa dia adalah iblis, menghindarinya dan tidak untuk diikuti.

Syarat dan ciri utama seorang yang harus diikuti sudah dicantumkan dalam Qur’an, yaitu dalam surat Yaa Siin (36) ayat 21 :

اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ.

Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan (upah dakwah) kepada kalian; dan mereka adalah ‘muhtaduun’ “

Apakah ‘Muhtaduun’ itu ?

Muhtadun, asal katanya dari hada-yahdi-hudan-hidayah tsumma ihtada-yahtadi-ihtidaan, yang berarti ‘telah tetap menapak di atas petunjuk (dari Allah)’. Al-Muhtaduun adalah mereka yang sudah ditetapkan-Nya melangkah hanya di atas petunjuk-Nya saja.

Jadi, ciri pertama adalah, tidak pernah minta balasan apapun, baik pertolongan, status sosial, kerjasama manajemen, saling membantu, dan lain-lain. Dia yang bisa membantu kita, dan kita tidak bisa membantunya sama sekali. Dia sudah tidak membutuhkan apapun.

Yang kedua, orang itu sudah ‘tetap di atas petunjuk’. Dia membimbing anda murni seratus persen berdasarkan petunjuk Allah yang datang ke qalbunya, bukan berdasarkan pendapat, teori pendidikan, IQ, EQ, ESQ, AQ, Acceleration Learning, kebiasaan umum, budaya, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, coret juga orang yang belum mampu mendapat petunjuk Allah setiap sa’at di dalam qalbu-nya.

Beberapa rambu Al-Qur’an yang perlu kita cermati juga :

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُمْۗ فَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ.

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (karena kecenderungannya untuk sesat), dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
(QS. Surat Ibrahim : 4).

Juga firman-Nya :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ هَدَى اللّٰهُ وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلٰلَةُۗ فَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ.

Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah thagut !” Di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang ditetapkan dalam kesesatan. Maka, berjalanlah kalian di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).
(QS. An-Nahl : 36).

Perhatikanlah, bahwa pada dasarnya tiap-tiap ummat ada Rasul-Nya (penyampai risalah, pengajak menuju Allah). Dan, dengan bahasa kaumnya pula.

Sahabat, banyak orang yang mengaku mursyid, merasa mursyid, atau dianggap mursyid oleh banyak orang, atau mendadak mursyid. Tapi yang teramat sulit adalah mencari mursyid sejati, guru yang sesungguhnya, yang tugas kelahirannya memang sebagai seorang mursyid, seorang yang memang bermisi hidup sebagai mursyid dan telah dibekali Allah dengan Ruh Al-Quds (Spirit Suci) sebagai legitimasi ilahiyah atas tugasnya. Kita harus setiap sa’at memohon untuk diantarkannya ke ’seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk/wali mursyid’, sebagaimana petunjuk Al-Qur’an Surat Al-Kahfi (18) ayat 17 menyebutkan :
l-Kahf: 18

Al-Kahf · Ayat 17

۞ وَتَرَى الشَّمْسَ اِذَا طَلَعَتْ تَّزٰوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَاِذَا غَرَبَتْ تَّقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِيْ فَجْوَةٍ مِّنْهُۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِۗ مَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهٗ وَلِيًّا مُّرْشِدًا.

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan ‘Waliyyan Mursyida’ (seorang pemimpin yang dapat memberi petunjuk, Wali-Mursyid).”

Kita harus setiap sa’at memohon untuk ditunjuki-Nya kepada seorang ‘Waliyyan Mursyida’ ini.

Namun demikian, banyak orang yang ingin bertemu mereka, tapi setelah bertemu mereka justru berbondong-bondong berlari meninggalkannya. Kenapa ? Karena bersama seorang mursyid memang tidak mudah. Dia akan memotong semua jalur-jalur perbudakan syahwat dan hawa nafsu pada diri kita.

Dia akan mengajari dan memaksa kita untuk berani mengenal, mempelajari dan menguasai semua jenis hawa nafsu dan syahwat yang ada dalam diri kita sendiri. Dia akan memaksa kita untuk murni bergantung pada Allah, bahkan bukan bergantung pada dirinya sebagai mursyid. Itu adalah tugasnya.

Karena dengan terkuasainya seluruh balatentara syahwat dan hawa nafsu kita, maka qalbu kita akan semakin bening, dan kita pun pada akhirnya akan mampu mendapatkan petunjuk dari qalbu kita sendiri.

Memang dia akan menolong kita jika ‘terjepit’ dalam kehidupan, menjelaskan persoalan dengan gamblang, tapi bukan berarti memanjakan terus menerus. Dia tidak akan mendidik kita untuk menjadi orang yang tidak mau menghadapi persoalan, sedikit-sedikit menangis minta tolong pada mursyidnya.

Dia akan memaksa kita untuk berani menghadapi persoalan, karena dengan demikian kita akan mengenal segala kekurangan diri yang perlu diperbaiki, mengenal dan menyempurnakan kelebihan diri yang ada, menghadapi semua hawa nafsu dan syahwat (misalnya : rasa takut, cemas, inferior, bangga, sombong, iri, minder, tidak percaya diri, dan sebagainya) demi untuk mengenal segala aspek dalam diri kita sendiri (’arafa nafsahu), supaya kelak kita bisa mengenal Rabb kita (’arafa rabbahu).

Maka dari itu, bermursyid bukan seperti datang ke pengajian sekali seminggu. Menghilangkan kepenatan fikiran dan kemumetan bathin, mencari kesejukan sesaat, buka dan sekedar menghafal Al-Qur’an, setelah lega kembali ke kehidupan masing-masing.

Bukan pula untuk berorganisasi, berharap dapat mengembangkan potensi diri demi karir di sana. Juga bukan seperti dukun, minta do’a supaya sukses, minta ‘amalan wirid, dan semacam itulah. Bukan juga datang ke sana untuk bersosialisasi, mencari kelompok maupun kegiatan saja.

Bermursyid itu, bukan pula seperti ke pasar. Ingin “memahari” atau membeli pencerahan, ingin membeli keajaiban, ingin membeli maqom (posisi rohani) ataupun pencapaian spiritual tertentu. Tapi begitu malam tiba, semua pembeli pergi ke rumah masing-masing dan kembali kepada kenyamanan tempat tidurnya di rumah, lupa pada perjuangan penyucian diri.

Demikian pula, jangan bermursyid pada orang yang mengangkat kita sebagai murid karena kita memiliki ‘potensi’ manfaat untuk dirinya, bisnisnya, partai politiknya, maupun organisasinya. Ini guru yang ‘berbisnis’, karena orang seperti ini, jika ia ingin susu maka ia akan mencari sapi untuk dipelihara.

Hubungan dengan mursyid itu tidak mudah, karena konsekuensinya adalah, setiap sa’at dimanapun kita berada, kita dituntut untuk bertaubat dan memperbaiki diri, sesuai Al-Qur’an Surat (5) : 39 yang menyatakan bahwa Allàh hanya menerima taubat dari orang-orang yang taubatnya dilanjutkan dengan memperbaiki dirinya.

فَمَنْ تَابَ مِنْۢ بَعْدِ ظُلْمِهٖ وَاَصْلَحَ فَاِنَّ اللّٰهَ يَتُوْبُ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ.

“Dan barangsiapa bertaubat setelah melakukan kejahatan (menzhalimi dirinya) dan kemudian memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 39).

Sekali lagi, inilah rambu utama dari Al-Qur’an yang harus kita ikuti :

“Dan ikutilah orang-orang yang tiada minta balasan kepada kalian; dan mereka adalah ‘muhtaduun’ (orang yang tetap diatas petunjuk)”. (QS. Yaa Siin : 21).***

Foto : Ilustrasi

Editor : Aab Abdul Malik

(Dul)

Latest Posts

spot_imgspot_img

Don't Miss

Stay in touch

To be updated with all the latest news, offers and special announcements.