Oleh: Gin gin Akil (Pimred Wartain.com)
Wartain.com || Pemilihan umum 2024, sebagai “Pesta Demokrasi”, sekarang sudah resmi memasuki tahapan kampanye. Setiap kandidat dan pendukungnya, masing masing menebar wacana dan narasi, mengkonsolidasi jaringan, menyelenggarakan kegiatan, memanfaatkan semua hal untuk mengarahkan rakyat pemilih memilihnya dan meninggalkan pesaingnya yang lain.
Mengingat dari momen yang sama dalam pilpres diperiode lalu, yang membelah rakyat pemilih, yang membekas berlarut, dan menyisakan dendam pemilu yang berkepanjangan, seharusnya tidak ada lagi konfrontasi yang membelah kubu kubu serupa arang yang patah. Tapi, sepertinya, dalam narasi politik yang berkembang, pembelahan yang tajam akan kembali terjadi.
Tentu saja yang paling dikhawatirkan adalah, medan persaingan seperti ini membuka gerbang untuk masuknya kepentingan asing (yang bisa dipastikan turut campur) melakukan infiltrasi, menikmati pesta dan berselancar memberi bumbu penguat agar potensi instabilitas yang konstan menjadi terealisasi.
Ujungnya, siapapun pemenang, tidak akan pernah memuaskan, presiden dan wakilnya yang secara prosedur pemilu telah terpilih oleh “rakyat”, ditolak “rakyat” yang berada dipihak yang kalah, ketika ketidak-percayaan terhadap sistem, dilengkapi mobilitas amuk massa, lalu memicu chaos.
Bila bayangan kekhawatiran ini termanifestasi. Otoriterianisme dengan alasan darurat akan hadir, seperti memenuhi undangan VIP. Kestabilan dipaksa oleh moncong senapan lalu disertai sogokan ransum untuk rakyat, dengan menggadaikan aset negara dalam nilai harga yang sangat murah, sebuah alasan rasional untuk situasi “darurat”.
Memang uraian diatas hanya analisa berbau imajinasi. Karena, siapapun yang waras akan lebih memilih energi damai, dan semoga yang waras ini lebih kuat pengaruhnya untuk mengarahkan situasi.
Tapi Imajinasi bagian kebebasan yang dilindungi konstitusi. Apalagi konstitusi yang sudah sangat liberal seperti saat ini, Konstitusi hasil amandemen yang menunggangi histeria reformasi, produk manipulasi agen proxy, dimasa akhir orde baru. Dan sesungguhnya Imajinasi itu bisa saja sungguh terjadi.
Saat ini yang disebut pesta demokrasi adalah lebih sebagai panggung selebriti, tontonan bagi rakyat kebanyakan yang hobi nonton drama korea dan sinetron. Demokrasi yang dipadati para aktor dalam peran imajinatif, yang seolah mewakili rakyat.
Karena faktanya, mereka para pejuang yang “keukeuh” digaris idealismenya, yang merindukan kemerdekaan hakiki bagi bangsanya, yang bernafas dan bersemayam dalam keruhanian semesta, berlintas dijalan sunyi. Teralienasi dari hingar bingar pesta demokrasi. Bahkan keberadaannya dilihat hanya sebagai penghayal, yang karyanya dianggap angin lalu. Tapi bila karyanya tersebut nampak menarik, akan dicuri, dicopy-paste lalu diedit, diklaim sebagai milik sang pencuri, dimanipulasi untuk komoditas mereka yang terpaut ambisi kekuasaan.
Dan karena momen pesta demokrasi, hanya bermanfaat langsung bagi mereka para selebriti, Lalu untuk apa dikuti atau mengikutinya dengan emosi yang membakar hati. Setidaknya, sebagai pesta, buatlah ini sebagai kesenangan yang dipenuhi keriangan yang menghibur. Ambilah manfaatnya, putuskan dengan akal sehat, pertanyakan kepada diri sendiri apa yang menjadi keputusan dalam menentukan pilihan.
Karena pada dasarnya dan seharusnya, bagi rakyat, pemilu adalah memilih pemimpin yang “mungkin” merubah nasibnya lebih baik dan harapan penuh keadilan dalam membangun tata kelola negara, hingga memberi kemajuan bagi bangsa.
Lihatlah, pemilu pemilu sebelumnya hingga yang terakhir, juga sepertinya untuk yang sedang berlangsung, masih hanya sangat bermanfaat bagi para elit dan para selebriti, yang menikmati kekuasaan dan mabuk dipuja pengikutnya. Tujuan mereka lebih kuat untuk mempertahankan dan memperjuangkan kedudukannya.
Tapi apapun yang terjadi dan harus dilalui, semoga bangsa Indonesia, selalu dalam perlindungan cinta kasih yang diwariskan leluhurnya. Dan selalu hidup damai dalam keberagaman, sebagai anugerah yang patut disyukuri.
- Bandung, 30 November 2023