Wartain.com || Ratu Nilakendra atau Tohaan Dimajaya merupakan raja kelima Kerajaan Pajajaran. Ratu Nilakendra memimpin Kerajaan Pajajaran selama 15 tahun, yakni dimulai wafatnya Ratu Sakti 1551 M hingga 1567 M.
Sedari pemerintahan Ratu Sakti, sebenarnya Kerajaan Pajajaran sudah ditimpa masalah kompleks, mulai masyarakat yang sudah tidak percaya lagi dengan pemerintahan seorang raja Ratu Sakti, kemaksiatan dan kejahatan semakin banyak, dan masyarakat mengalami kelaparan sebab Kerajaan Pajajaran tidak menyuplai kebutuhan pokok.
Ciri khas sifat yang dimiliki Ratu Sakti adalah suka mabuk-mabukan jauh dari agama serta tidak memedulikan tatanan hukum negara, sehingga tidak sedikit rakyat yang membangkang, Ratu Sakti juga dikisahkan memiliki moral buruk.
Ia terkenal memberlakukan hukum semena-mena terhadap masyarakat kecil, yakni dengan menghukum mati penduduk, merampas harta masyarakat tanpa alasan yang pasti. Ratu Sakti juga dicap sebagai raja yang berani melanggar adat keraton sebab telah mengawini seorang putri larangan dari keluaran yang dilarang adat secara keras. Bahkan ulahnya yang paling parah adalah dengan memperistri ibu tirinya sendiri.
Meskipun Ratu Sakti ketika memerintah Kerajaan Pajajaran terkenal kejam dan tidak bermoral, tapi ia dianggap sebagai raja yang dikategorikan mampu memimpin kerajaan dengan benar. Sebab berbagai hal yang menyangkut kedaulatan Negara masih ia pertahankan selama masih menjabat sebagai raja.
Berbeda dengan raja selanjutnya, Nilakendra tidak melanggar larangan adat apapun, tapi raja kelima Kerajaan Pajajaran terjerumus ke dalam aliran mistis keagamaan Tantra. Dari Carita Parahiyangan menjelaskan bahwa sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan yang melanda rakyat Sunda telah terjadi pada waktu itu.
Mereka melakukan cara apapun untuk menyambung hidup. Sedangkan uluran tangan dari pihak kerajaan tidak ada sama sekali. Hal lain yang membuat frustrasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi yakni ditandai dengan ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran Tantra merupakan aliran yang rutinitas melakukan meditasi dengan mengolaborasikan simbol Yoni dan Lingga. Artinya yakni meditasi dengan melakukan hubungan intim antara laki-laki dan perempuan.
Sekte seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Kerajaan Pajajaran saja, tapi dari Kerajaan Singasari juga pernah menganut ajaran ini. “Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar” (Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan nikmat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Di saat rakyat kelaparan dan tidak ada uluran tangan kerajaan, justru Nilakendra memperindah keraton. Ia membangun taman dengan jalur-jalur yang terbuat dari batu untuk mengapit gerbang larangan, melengkapi pernak-pernik istana dengan jimat-jimat, dan membangun rumah keramat (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah lingkup kerajaan menggunakan lempengan emas.
Sedangkan untuk melawan musuh, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, Nilakendra membuat sebuah “bendera keramat” (Ngibuda Sanghyang Panji). Bendera inilah yang diandalkan Nilakendra untuk mengusirmusuh. Ia percaya siapa saja yang ingin menyerang Pajajaran, maka pasukan tersebut akan takut dengan sendirinya. Padahal menurut pasukan Banten sendiri, simbol bendera tersebut tidak memiliki arti apapun, dan pasukan Banten tidak pernah merasa takut melihat bendera itu.
Hingga pada akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (Kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton). Kepemimpinan Nilakendra seperiode dengan Panembahan Hasanudin dari Banten dan jika menurut isi buku Sejarah Banten terjadinya serangan ke Pakuan ternyata melibatkan Hasanudin dengan putranya yang bernama Yusuf.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang tampil ke depan dalam serangan itu adalah putra mahkota, Yusuf. Peristiwa kekalahan Nilakendra ini terjadi ketika Susuhunan Jati masih hidup (ia baru wafat pada tahun 1568 M dan Fadillah wafat 1570 M).
Demikianlah, sejak saat itu ibu kota Pakuan Pajajaran telah ditinggal oleh raja dan nasib kerajaan diserahkan sepenuhnya kepada penduduk Pajajaran dan prajurit yang tinggal di keraton. Tapi seusai serangan dari Banten, Pakuan sanggup bertahan lagi selama 12 tahun.
Menurut Carita Parahiyangan, Ratu Nilakendra tercatat sebagai raja yang ngawur dalam memimpin Kerajaan Pajajaran. Di bawah pemerintahan Ratu Nilakendra inilah Kerajaan Pajajaran mampu ditaklukkan oleh pasukan Banten, sementara sang raja sendiri melarikan diri ke pedalaman Sunda.
Perang Banten Vs Pajajaran diakibtkan oleh perselisihan wilayah perbatasan dengan Banten sehingga mengakibatkan perang besar antar kedua kerajaan, perang berkecamuk dengan dahsyat namun pasukan Banten dapat merangsek menuju Ibu Kota Kerajaan dan menawannya.
Kekalahan Pajajaran oleh Banten dikarenakan Kerajaan Pajajaran hanya mengandalkan jimat-jimat yang dibuat rajanya, sedangkan teknik dan strategi peperangan tidak pernah diasah. Akhirnya Banten dapat merebut ibu kota dan Istana Pajajaran sementara “Ngibuda Sanghiyang Panji” yang dahulu selalu dibangga- banggakan dan dipercaya menjadi tolak-balak atas musuh temyata tidak memiliki berfungsi apapun. Maka mulai setelah itu, Kerajaan Pajajaran memasuki masa keruntuhan, meskipun demikian Nilakendra berhasil menyelamatkan diri dari kepungan pasukan Banten, ia kemudian menjadi raja pelarian tanpa istana. Nilakendra wafat dalam pelarian pada tahun 1567 M.***
Foto : ilustrasi/sejarah Cirebon
Editor : Aab Abdul Malik
(Redaksi)