Wartain.com || Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPP PDIP Puan Maharani di kediaman Presiden Indonesia ke-5 di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Ketua Umum PPJNA 98 Anto Kusumayuda, menyebut pertemuan tersebut sebagai sinyal kuat dari upaya persatuan nasional di tengah fragmentasi politik pasca Pilpres 2024. “Ini bukan sekadar kunjungan politik biasa. Ini langkah rekonsiliatif dan strategis. Kami melihat Dasco mengambil peran sebagai pemersatu bangsa,” ujar Anto kepada wartain.com, Kamis (5/6).
Pertemuan antara tokoh utama Gerindra dan dua tokoh sentral PDIP ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik pasca pemilu. Meski Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2024–2029, hubungan antara PDIP dan Gerindra masih kurang harmonos. PDIP yang sebelumnya mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengambil posisi di luar pemerintahan.
Namun langkah Dasco dianggap sebagai inisiatif personal sekaligus simbolik. Ia berani menjemput dialog, bukan sebagai elite partisan semata, melainkan sebagai negarawan yang ingin menyatukan kembali para tokoh nasional. “Ini contoh bagus. Kita butuh tokoh politik yang bisa menjembatani, bukan sekadar mewarisi konflik,” tambah Anto Kusumayuda.
Sufmi Dasco Ahmad bukan sosok baru di politik nasional. Selama menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI dan kini Ketua Harian DPP Gerindra, ia dikenal sebagai tokoh yang tenang, solutif, dan bisa diterima lintas partai. Meski loyal terhadap Prabowo, ia juga punya jalur komunikasi terbuka dengan elite-elite non-koalisi.
Pertemuan Dasco dengan Megawati dan Puan menjadi cerminan dari diplomasi personal yang makin langka di politik hari ini. Di saat banyak elite masih terjebak dalam konflik masa lalu, Dasco memilih untuk melangkah maju—membangun jembatan politik di atas jurang perbedaan ideologis.
Meski tidak ada pernyataan resmi dari PDIP, Anto menilai bahwa pertemuan ini bisa menjadi sinyal awal menuju “soft coalition” atau koalisi diam-diam di parlemen. Setidaknya, jika PDIP belum masuk pemerintahan, komunikasi ini dapat mendorong kerja sama dalam penyusunan UU strategis atau agenda kebangsaan lainnya.
“Kita sedang melihat bagaimana dua kutub besar politik Indonesia mencoba meminimalisasi gesekan. Jika PDIP membuka pintu dialog, maka pemerintahan Prabowo bisa menjadi lebih stabil, karena mendapat kontrol sekaligus dukungan secara elegan,” ujarnya.
Anto menyebut bahwa generasi aktivis 1998 punya tanggung jawab moral untuk mendorong rekonsiliasi nasional. Menurutnya, langkah Dasco harus diapresiasi sebagai bagian dari semangat reformasi yang substantif.
“Kita tidak ingin perbedaan politik justru merusak fondasi bangsa. Semangat 98 adalah membangun sistem yang terbuka, dialogis, dan inklusif. Dan Pak Dasco sedang mempraktikkan itu,” tegasnya.
Pertemuan ini mungkin tidak langsung membuahkan koalisi formal atau pergeseran besar. Namun ia bisa menjadi momentum simbolik yang kuat—bahwa politik Indonesia masih punya ruang bagi dialog, bahwa tokoh-tokoh besar bisa duduk bersama tanpa harus sepakat dalam semua hal.
Dalam situasi bangsa yang menghadapi tantangan global, krisis pangan, dan tekanan geopolitik, pertemuan seperti ini menunjukkan bahwa masih ada harapan untuk politik yang matang, dewasa, dan bersatu. “Kalau tokoh seperti Megawati, Puan, dan Dasco bisa duduk bersama, maka rakyat punya alasan untuk optimis,” tutup Anto.***
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)