26.7 C
Jakarta
Senin, Oktober 14, 2024

Latest Posts

KTT ASEAN Ke-43 Soroti Ketahanan Pangan Akibat Fenomena El Nino

Wartain.com, Jakarta, ||  Ketahanan pangan kawasan Asia Tenggara (ASEAN) mengalami gangguan akibat kekeringan yang terjadi. Fenomena El Nino membuat curah hujan lebih rendah daripada periode sebelumnya sehingga pasokan air berkurang.

Suhu permukaan laut (SST) di wilayah tropis pada Juni 2023, menunjukkan pola mirip El Nino. SST tropis Pasifik berada di atas rata-rata di sebagian besar wilayah, namun demikian SST di bagian tengah dan timur Pasifik terlihat lebih hangat (kotak merah) dibandingkan bagian barat.

Kondisi curah hujan yang lebih rendah dari rata-rata membuat kawasan ASEAN mengalami kekeringan. Peristiwa ini berdampak pada beberapa hal, seperti kesehatan, ekonomi, bahkan pangan.

“Pada tahun ini, akibat El Nino, ada negara-negara yang peluang terjadinya panen buruk meningkat, misalnya di Asia Selatan dan Tenggara,” kata Walter Baethgen dari Institut Penelitian Internasional untuk Iklim dan Masyarakat, dikutip dari Deutsche Welle.

Pada Juli 2023, India sebagai eksportir terbesar beras di dunia telah membatasi ekspornya karena kerusakan tanaman akibat hujan monsun yang tidak teratur. Beberapa peneliti mengatakan hal ini berpotensi menimbulkan konsekuensi yang mengerikan bagi negara-negara yang bergantung pada ekspor pada India, salah satunya Indonesia.

Dampak lanjutannya yakni kelangkaan beras di pasar global. Alhasil, harga beras akan menjadi tinggi.

Di Indonesia saja, luas panen padi dan produksi beras di dalam negeri turun pada Agustus 2023. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, berdasarkan metode kerangka Kerangka Sampel Area (KSA), luas panen padi berpotensi turun 1,55% dan produksi beras turun 4,01% dibanding bulan sebelumnya.

Di tengah potensi turunnya luas panen dan produksi beras itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa inflasi harga beras sangat tinggi pada Agustus 2023, bahkan tingkatnya melampaui level inflasi yang tercatat sudah tinggi pada periode Oktober 2015.

Pada Agustus 2023, inflasi atau kenaikan indeks untuk harga beras telah mencapai 13,76%, sedangkan data inflasi untuk beras yang terjadi pada Oktober 2015 sebesar 13,44% dan inflasi tertinggi untuk beras tercatat pada Juni 2012 sebesar 16,23%.

Dampak inflasi untuk harga beras ini membuat konsumsi masyarakat turun karena ketidakmampuan masyarakat untuk membeli beras di harga yang tinggi. Alhasil, ini dapat berdampak naiknya tingkat kelaparan di Indonesia.

Sebagai informasi, Menurut US Department of Agriculture (USDA), produksi beras terbesar di ASEAN dicapai oleh Indonesia pada Juli 2023 sekitar 34,45 juta metric tons lalu disusul oleh Vietnam dengan kisaran 27 juta metric tons, dan posisi ketiga yakni Thailand dengan kisaran 19,7 juta metric tons.

Kendati demikian, Indonesia masih melakukan impor beras mengingat tingginya permintaan akibat besarnya jumlah penduduk Indonesia. Pada periode Januari-Juli 2023, tercatat Pemerintah Indonesia telah mengimpor sebanyak 1,17 juta ton beras dengan kode HS10063099 dari Vietnam dan Thailand.

Untuk total impor beras secara keseluruhan dengan berbagai tipe, termasuk jenis beras khusus mencapai 1,33 juta ton. Nilainya sebesar US$ 715,9 juta pada periode Januari-Juli 2023 dari Vietnam, Thailand, dan India.

Tidak hanya beras, dampak kekeringan ini juga berpotensi menurunkan produksi minyak sawit di ASEAN. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengungkapkan kekeringan yang tengah terjadi saat ini bisa memicu keterlambatan kematangan buah sawit. Jika terus terjadi produksi sawit bisa turun pada beberapa tahun mendatang.

GAPKI menilai jika El nino benar-benar terjadi di Indonesia, maka bisa dipastikan produksi sawit akan turun pesat di tahun berikutnya. Bahkan bisa lebih dari 10% seperti saat ini. Lebih buruknya lagi, tidak hanya satu tahun, melainkan bahkan sampai dua tahun produksi akan turun.

Executive Director PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung mengatakan bahwa kawasan Asia, khususnya ASEAN menjadi sentra utama produksi minyak sawit dunia, menghasilkan sekitar 87-89% dari total produksi minyak sawit dunia.

Efek dari El Nino dan Pandemi Covid-19 telah menurunkan produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia dari sekitar 47.18 juta ton tahun 2019 menjadi 46.89 juta ton tahun 2021.

Produksi minyak sawit Malaysia juga mengalami penurunan dari 19.86 juta ton tahun 2019 menjadi 18.11 juta ton pada tahun 2021.

Tungkot pun menambahkan bahwa volume ekspor CPO Indonesia turun dari 37.4 juta ton tahun 2019 menjadi sekitar 34 juta ton tahun 2021. Sementara ekspor CPO Malaysia juga turun dari 17.2 juta ton menjadi 15.8 juta ton sebelum naik sedikit menjadi 16.4 juta ton pada periode tersebut.

Volume ending stock bulanan pada negara-negara importir CPO dunia seperti China, India, hingga Amerika Serikat pun turut mengalami penurunan sejak 2019 yang sempat menyentuh 2,3 juta ton di awal tahun, namun di awal tahun 2022 sudah mengalami penurunan bahkan kurang dari 1,4 juta ton.

Sebagai catatan, ketahanan pangan di ASEAN tidak dapat dikatakan cukup baik, meskipun ASEAN merupakan salah satu pengekspor pangan terbesar ke dunia. Beberapa negara ASEAN yang melakukan ekspor di antaranya Vietnam dan Thailand.

Menurut data Global Food Security Index (GFSI) yang mengukur menggunakan empat indikator, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation) pada 2022 tercatat overall score negara-negara ASEAN cukup baik.

Posisi pertama diduduki oleh Singapura dengan nilai 73,1 kemudian disusul oleh Malaysia dan Vietnam dengan masing-masing nilai 69,9 serta 67,9.

Sedangkan Indonesia berada di peringkat empat di ASEAN dengan skor 60,2. Nilai Indonesia ini masih lebih rendah dibandingkan rata-rata global yang indeksnya 62,2, serta di bawah rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4. Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara.

Rendahnya skor Indonesia tak lepas dari tingginya impor komoditas pangan seperti gula, tebu, kedelai, maupun biji gandum, meskipun diketahui bahwa Indonesia memiliki tanah yang subur.

Merujuk dari asean2023.id, faktor penyebab impor pangan Indonesia adalah konversi lahan pertanian dan laju pertumbuhan penduduk.

Banyaknya lahan pertanian yang dialihfungsikan menjadi pemukiman turut memperkecil kuantitas produk pangan dalam negeri. Di sisi lain, tuntutan pada pertanian untuk menghasilkan komoditi pangan sangat besar karena populasi penduduk Indonesia yang kian meningkat.***

Sumber/Foto : CNBC Indonesia/Humas Setkab

Editor : Aab Abdul Malik

(Tim)

Latest Posts

spot_imgspot_img

Don't Miss

Stay in touch

To be updated with all the latest news, offers and special announcements.