Oleh : Kang Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan
Wartain.com || Bangsa yang besar tidak ditentukan oleh panjang sejarahnya, melainkan oleh sejauh mana rakyatnya sadar, berani berpikir jernih, dan menolak dijadikan korban dari kerakusan segelintir elit yang mempermainkan nasib negeri. Indonesia kini berdiri di persimpangan sejarah—antara kebangkitan baru di bawah kepemimpinan nasionalis-pembela rakyat, atau keterperosokan lebih dalam ke dalam jurang kepalsuan, pengkhianatan, dan kemerosotan moral bangsa.
Selama dua dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana sumber daya alam dijarah atas nama investasi, bagaimana kebijakan ekonomi dijadikan alat memperkaya segelintir kelompok, sementara rakyat jelata hanya diberi janji dan hiburan politik murahan. Negeri yang kaya ini terus diperas oleh tangan-tangan rakus yang berselimut kata “pembangunan”.
Para perampas kekayaan bangsa menyamarkan kejahatannya dengan proyek megah, jargon pertumbuhan, dan propaganda kemajuan, padahal sesungguhnya mereka menukar kedaulatan bangsa dengan hutang dan ketergantungan asing.
Inilah saatnya kalangan kampus, akademisi, cendekiawan, dan para pejabat yang masih memiliki nurani untuk berdiri tegak—menjadi penuntun akal sehat bangsa. Jangan biarkan ruang intelektual dan ruang publik kita dikotori oleh kebohongan yang diulang-ulang hingga dipercaya sebagai kebenaran.
Tugas kaum intelektual bukan sekadar mencatat sejarah, tetapi menulis arah baru peradaban. Bila akal sehat kita dibungkam, maka seluruh bangsa ini akan dikendalikan oleh mereka yang tak lagi mengenal malu, tak takut pada Tuhan, dan tak punya belas kasih pada rakyatnya.
Kini, di tengah kerusakan sistemik, muncul satu harapan baru: kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Bukan karena beliau tanpa kekurangan, melainkan karena beliau memahami luka panjang bangsa ini dan berani mengambil keputusan keras demi kepentingan nasional.
Di bawah kepemimpinan beliau, masih ada peluang membalikkan keadaan—mengembalikan kedaulatan sumber daya alam, membangkitkan harga diri pertahanan bangsa, menata ulang pendidikan agar mencerdaskan, bukan mendungukan generasi muda.
Prabowo berbicara tentang etika politik, disiplin nasional, dan keberpihakan kepada rakyat kecil. Nilai-nilai inilah yang telah lama terkubur di balik kepentingan partai, oligarki ekonomi, dan konglomerasi internasional. Rakyat membutuhkan pemimpin yang tidak mudah dibeli, tidak tunduk pada tekanan global, dan berani mengatakan “tidak” ketika kedaulatan bangsa terancam.
Namun, perjuangan ini tidak akan berhasil jika rakyat tetap pasif dan kaum terpelajar memilih diam. Kesadaran tidak tumbuh dari kemarahan, melainkan dari keberanian berpikir dan bertindak. Dunia kampus harus kembali menjadi kawah candradimuka bagi pemikiran kritis—bukan sekadar pabrik gelar dan sertifikat. Dosen, mahasiswa, peneliti, dan birokrat yang masih berakal sehat harus berani memerangi kebodohan yang direkayasa melalui media, dana asing, dan kebijakan yang membius akal rakyat.
Kita tidak sedang menghadapi musuh dari luar, melainkan pengkhianatan dari dalam: dari mental korup, dari pejabat yang kehilangan arah moral, dan dari masyarakat yang rela ditipu asalkan kenyang sesaat. Di sinilah pentingnya gerakan kesadaran nasional: menolak feodalisme politik, menegakkan etika pemerintahan, dan mendidik rakyat agar berpikir merdeka.
Mari kita jaga akal sehat bangsa dengan tindakan nyata: berbicara jujur di ruang publik, menolak manipulasi data, mengawal kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan mengingatkan pemimpin bila tergelincir. Kepemimpinan sejati tidak lahir dari pujian, melainkan dari pengawasan rakyat yang cerdas.
Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, peluang perubahan terbuka. Namun tanggung jawabnya ada pada kita semua: rakyat, akademisi, ulama, dan pejabat yang masih setia pada nurani. Inilah saatnya menutup bab gelap manipulasi, membuka lembar baru keberanian nasional.
Bangkitlah wahai bangsa Indonesia. Sadarlah wahai intelektual dan pejabat berakal sehat. Hentikan keserakahan, lawan kebodohan yang direkayasa, dan rebut kembali martabat bangsa dari tangan para penjahat yang mengatasnamakan pembangunan.
Sejarah tidak menunggu. Ia menulis siapa yang berjuang dan siapa yang diam.***
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)
