Oleh: Radhar Tribaskoro/ Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Wartain.com || Dalam beberapa dekade terakhir, konsep “negara swasta” atau “corporate state” semakin sering dibahas dalam kajian akademik dan politik.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana pengusaha atau oligarki memegang kendali terhadap fungsi dan kebijakan negara, sering kali demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, daripada kepentingan publik.
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru; namun, dalam dunia yang semakin terintegrasi dengan neoliberalisme dan kapitalisme global, bentuk dan dampaknya semakin nyata di banyak negara, termasuk negara-negara berkembang.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri apa yang dimaksud dengan “negara swasta,” apa ciri-ciri dan dampaknya, serta bagaimana kita bisa memahami dan menghadapi fenomena ini.
Kita juga akan melihat bagaimana teori kompleksitas sistem politik dapat membantu menjelaskan dinamika antara aktor-aktor kekuasaan dalam “negara swasta” dan bagaimana fenomena ini mencerminkan ketidakseimbangan dalam distribusi kekuatan politik dan ekonomi.
1. Apa itu “Negara Swasta”?
“Negara swasta” adalah sebuah metafora yang menggambarkan situasi di mana negara kehilangan esensi publiknya dan berubah menjadi instrumen bagi segelintir pengusaha besar atau oligarki.
Dalam situasi ini, kebijakan publik tidak lagi ditentukan berdasarkan kepentingan umum, tetapi lebih mengutamakan manfaat ekonomi dan kekuasaan yang dapat diraih oleh elite kecil.
Istilah ini menggambarkan kondisi di mana hubungan antara politik dan ekonomi menjadi semakin terjalin erat, sehingga batas antara keduanya kabur dan kepentingan pribadi atau kelompok berkuasa mendominasi proses pengambilan keputusan.
Wendy Brown dalam bukunya “Undoing the Demos” menyebut fenomena ini sebagai bentuk dari “neoliberalitas negara” di mana nilai pasar sepenuhnya mendikte bagaimana negara dikelola (Brown, 2015).
Negara yang seharusnya berfungsi untuk melindungi warganya dan menyediakan kesejahteraan umum justru menjadi korporasi besar, di mana elite ekonomi mempengaruhi pembuatan kebijakan demi keuntungan finansial mereka.
Ciri-Ciri Negara Swasta
Untuk memahami fenomena negara swasta, kita perlu menyoroti beberapa ciri utama yang dapat mengindikasikan bahwa suatu negara telah mengalami transformasi menuju model ini. Ciri-ciri ini termasuk:
a. Kekuatan Eksekutif yang Didominasi Elite Ekonomi
Salah satu ciri yang paling terlihat adalah adanya pengaruh besar pengusaha atau oligarki dalam pemerintahan, baik secara langsung maupun melalui jalur partai politik. Dalam “negara swasta,” pengusaha besar sering kali menjadi bagian dari kekuatan eksekutif, baik melalui jabatan resmi maupun sebagai penasihat utama.
Sebagai contoh, banyak pengusaha besar di Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah, bahkan berperan penting dalam penyusunan kebijakan ekonomi. Jeffrey Winters dalam bukunya “Oligarchy” menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, oligarki memiliki “kepemilikan” atas kebijakan negara melalui pengaruh politik mereka yang besar (Winters, 2011).
b. Regulasi yang Menguntungkan Kelompok Terbatas
Negara yang dikelola oleh oligarki cenderung membuat regulasi yang menguntungkan segelintir kelompok elit. Misalnya, regulasi perpajakan yang cenderung memberikan tax holiday bagi perusahaan besar atau undang-undang yang mempermudah akses investor asing tanpa memperhatikan dampak bagi masyarakat lokal. Regulasi semacam ini memperlihatkan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi daripada kesejahteraan sosial dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat.
c. Penggunaan Aparat Negara sebagai Alat Kepentingan Bisnis
Dalam negara swasta, aparat negara—baik itu penegak hukum, birokrasi, maupun militer—cenderung digunakan untuk menjaga kepentingan bisnis tertentu. Hal ini dapat terlihat dalam bentuk represi terhadap kelompok masyarakat yang mencoba melawan proyek-proyek yang dianggap merugikan lingkungan atau kesejahteraan masyarakat lokal (Contoh PIK-2). Aparat keamanan digunakan untuk memastikan bahwa proyek tersebut berjalan tanpa gangguan, meskipun ada penolakan dari komunitas yang terdampak.
David Harvey dalam “A Brief History of Neoliberalism” menjelaskan bagaimana negara berfungsi untuk menciptakan “kondisi yang mendukung akumulasi kapital” dengan mengorbankan hak-hak sipil dan kesejahteraan masyarakat (Harvey, 2005). Aparat negara menjadi instrumen kekuasaan ekonomi daripada pelindung kepentingan rakyat.
d. Kontrol terhadap Media
Untuk menjaga kekuasaannya, oligarki dalam negara swasta juga sering kali berupaya untuk mengontrol media, baik melalui kepemilikan langsung atau melalui intervensi dalam kebijakan penyiaran. Tujuannya adalah untuk membentuk opini publik yang menguntungkan mereka dan mengontrol narasi politik sehingga tidak ada ancaman terhadap dominasi mereka.
Di Indonesia, kepemilikan media yang terkonsentrasi pada segelintir pengusaha sering kali menyebabkan terbatasnya narasi alternatif yang bisa diakses oleh masyarakat. Sebagai contoh, isu-isu yang menyinggung kepentingan oligarki jarang sekali mendapat liputan yang luas di media arus utama.
Dampak Negara Swasta
Negara swasta memiliki dampak signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, dari kesejahteraan ekonomi hingga partisipasi politik. Berikut adalah beberapa dampak utama:
a. Ketimpangan Ekonomi
Dalam negara swasta, ketimpangan ekonomi cenderung meningkat. Kekayaan negara terkonsentrasi pada segelintir orang yang memiliki akses langsung terhadap sumber daya dan kebijakan negara. Akibatnya, sebagian besar masyarakat tetap berada dalam kemiskinan atau berjuang untuk mendapatkan akses ke layanan dasar, sementara elit ekonomi terus memperkaya diri.
Studi dari Thomas Piketty dalam bukunya “Capital in the Twenty-First Century” menunjukkan bahwa ketika segelintir individu memiliki akses yang tidak terbatas terhadap modal dan kebijakan, ketimpangan akan terus meningkat (Piketty, 2014). Fenomena ini terlihat jelas dalam negara swasta, di mana kebijakan ekonomi lebih berfokus pada akumulasi kapital bagi segelintir orang dibandingkan distribusi kesejahteraan yang adil.
b. Kelemahan Demokrasi
Negara yang dikuasai oleh pengusaha atau oligarki tidak benar-benar mendukung demokrasi yang sehat. Demokrasi dalam konteks ini sering kali hanya menjadi prosedural, di mana pemilu tetap diadakan, tetapi hasilnya telah dipengaruhi oleh kendali modal. Partai politik yang seharusnya menjadi representasi rakyat lebih banyak menerima dana dari pengusaha besar, sehingga mereka cenderung mengabaikan kepentingan konstituen demi mengamankan dukungan finansial.
Crouch (2004) dalam “Post-Democracy” menggambarkan situasi ini sebagai kondisi di mana institusi demokrasi masih ada, tetapi kekuasaan nyata berada di tangan segelintir elit ekonomi. Rakyat kehilangan suara dan hanya menjadi bagian dari prosedur formal untuk memberikan legitimasi bagi mereka yang sebenarnya memiliki kekuasaan.
c. Erosi Hak Sosial dan Lingkungan
Dampak lain dari negara swasta adalah erosinya hak-hak sosial dan lingkungan. Kebijakan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi sering kali mengabaikan dampak negatif terhadap lingkungan dan hak masyarakat. Misalnya, proyek pembangunan yang mengorbankan ruang hijau dan sumber air masyarakat sering kali tetap dijalankan demi kepentingan bisnis.
Ulrich Beck dalam “Risk Society” menyoroti bagaimana modernitas telah menciptakan risiko baru bagi masyarakat, dan dalam negara yang didominasi oleh pengusaha besar, risiko ini diperparah oleh lemahnya regulasi yang berpihak pada publik (Beck, 1992). Negara tidak lagi melindungi warganya dari risiko, tetapi justru menciptakan risiko demi akumulasi kapital.
Menggunakan Perspektif Kompleksitas untuk Memahami Negara Swasta
Untuk memahami mengapa dan bagaimana negara dapat bertransformasi menjadi negara swasta, kita bisa menggunakan teori kompleksitas dalam sistem politik. Menurut pendekatan ini, negara dan masyarakat adalah sistem yang kompleks, di mana banyak aktor saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Dalam sistem politik yang kompleks, terdapat banyak aktor yang berperan, termasuk pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, pengusaha, dan aktor internasional. Ketika aktor ekonomi—seperti pengusaha besar—memiliki akses yang lebih besar terhadap kekuasaan, mereka dapat mengubah dinamika kekuasaan di dalam sistem tersebut.
Akibatnya, proses politik tidak lagi bekerja berdasarkan representasi dan keseimbangan, tetapi lebih dipengaruhi oleh logika akumulasi kapital. Yaneer Bar-Yam (2004) dalam “Making Things Work” menjelaskan bahwa sistem yang tidak mampu mengelola kompleksitas dan distribusi kekuasaan akan berakhir dengan struktur di mana hanya segelintir aktor yang mendominasi.
Dalam kasus negara swasta, ini berarti bahwa negara tidak lagi berfungsi sebagai entitas yang mengelola kepentingan umum, tetapi berubah menjadi alat untuk memenuhi kepentingan pribadi segelintir elit.
Dalam negara yang sehat, setiap institusi memiliki fungsi spesifik yang berbeda satu sama lain—eksekutif menjalankan pemerintahan, legislatif membuat undang-undang, dan yudikatif memastikan keadilan ditegakkan. Namun, dalam negara swasta, fungsi-fungsi ini tidak lagi berdiri sendiri, melainkan terkooptasi oleh kepentingan ekonomi.
Batas antara sektor publik dan swasta menjadi kabur, sehingga negara kehilangan fungsinya sebagai pelindung masyarakat. Niklas Luhmann (1995) dalam “Social Systems” menjelaskan pentingnya diferensiasi fungsional untuk menjaga sistem sosial tetap berfungsi dengan baik. Ketika diferensiasi ini gagal, seperti dalam negara swasta, sistem tidak lagi mampu mengelola kompleksitas masyarakat, dan akibatnya kesejahteraan umum terabaikan.
Menghadapi fenomena negara swasta memerlukan pemahaman mendalam tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam sistem politik dan bagaimana masyarakat sipil dapat mengintervensi. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk menghadapi tantangan ini:
Pertama, untuk melawan dominasi oligarki, institusi demokrasi seperti parlemen, yudikatif, dan media independen perlu diperkuat. Parlemen harus mampu menahan pengaruh korporasi dengan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif, sementara peradilan harus berani menegakkan hukum terhadap siapa pun, termasuk pengusaha besar.
Kedua, salah satu akar masalah negara swasta adalah pendanaan politik yang berasal dari oligarki. Dengan melakukan reformasi pendanaan politik, seperti menerapkan sistem pendanaan publik untuk partai politik dan kampanye, ketergantungan partai terhadap dana pengusaha besar dapat dikurangi. Stiglitz (2012) dalam “The Price of Inequality” mengemukakan bahwa sistem politik yang lebih transparan dan independen dari pengaruh modal adalah kunci untuk menciptakan negara yang lebih adil dan demokratis.
Ketiga, masyarakat sipil harus berperan lebih aktif dalam mengawasi kebijakan dan meningkatkan kesadaran tentang bahaya negara yang didominasi oleh segelintir pengusaha. Organisasi masyarakat sipil, LSM, dan gerakan sosial memiliki peran penting dalam menjaga agar proses pengambilan keputusan tetap terbuka dan inklusif.
Keempat, negara harus menjamin bahwa semua proses pembuatan kebijakan dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Hal ini bisa diwujudkan dengan menerapkan mekanisme partisipatif dalam pembuatan kebijakan publik, seperti melibatkan masyarakat dalam perencanaan proyek atau kebijakan ekonomi yang akan berdampak besar terhadap mereka.
Penutup: Menuju Negara yang Lebih Adil
Fenomena negara swasta mengungkap bagaimana kekuatan ekonomi dapat merusak fungsi negara sebagai pelindung kepentingan umum. Negara yang seharusnya menjadi wadah bagi masyarakat untuk meraih kesejahteraan bersama berubah menjadi instrumen bagi sekelompok kecil untuk mencapai akumulasi kapital.
Namun, tidak ada negara yang harus pasrah menjadi “negara swasta.” Dengan memperkuat institusi demokrasi, mengurangi pengaruh modal dalam politik, dan meningkatkan partisipasi publik, transformasi menuju negara yang lebih adil dan demokratis adalah sesuatu yang mungkin. Kita perlu mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Noam Chomsky: “Negara yang baik bukanlah negara yang tunduk pada modal, melainkan yang berfungsi untuk melayani warganya dengan adil dan transparan” (Chomsky, 2013).
Negara seharusnya menjadi instrumen untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi mereka yang memiliki modal dan kekuasaan. Tantangan bagi kita adalah memastikan bahwa negara tetap berfungsi untuk kepentingan umum, bukan kepentingan privat segelintir elit.***
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul/AS/Boeh)