26.7 C
Jakarta
Senin, Juli 14, 2025

Latest Posts

Tuhan Tak Pernah Tampak, Namun Selalu Nyata

Oleh : Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan

Wartain.com || Di antara gemuruh semesta dan kesunyian hati, seorang manusia berdiri. Ia merasa Tuhan begitu jauh—di sana, entah di mana. Sedang ia di sini, terpaku dalam kefanaan yang bernama dunia.

Di tiap malamnya ia bertanya, “Jika Tuhan ada, mengapa tak tampak? Jika Dia dekat, mengapa tak kuasa kudekap?” Dan dari kegelisahan itulah lahir satu percikan cahaya: bahwa tak semua yang tak tampak itu tiada. Sebab yang paling nyata sering kali tak membutuhkan rupa.

Dalam tradisi para pencari Tuhan, dikenal satu maqam agung: ma’rifatullah, yaitu mengenal Tuhan bukan dengan pancaindra, melainkan dengan hati yang dibersihkan dari kabut ego. Di maqam ini, yang tak tampak justru menjadi yang paling hadir. Sebab, kehadiran-Nya bukan terikat ruang dan waktu. Ia menyelimuti segalanya, bahkan sebelum segala ada.

Seorang sufi berkata, “Aku mencari Tuhan di rumah ibadah, di kitab-kitab, di suara para ulama. Tapi tak kutemukan Dia di sana. Aku menemukannya dalam ketiadaanku sendiri.” Inilah paradoks agung: Tuhan tidak bisa dikenal dengan cara yang biasa. Dia bukan objek yang bisa dijangkau logika, bukan figur yang bisa digambar, bukan nama yang selesai dalam huruf-huruf. Dia adalah sumber segala makna, lautan tak bernama tempat segala nama bermula.

Ketika manusia berkata, “Aku di sini, Tuhan di sana,” sejatinya ia belum mengenal jarak batin. Sebab dalam wilayah ruhani, “sana” dan “sini” adalah ilusi ruang yang dicipta oleh pikiran yang belum bening. Tuhan tidak jauh. Bahkan Dia lebih dekat dari urat leher. Tapi keterikatan pada jasad dan dunia membuat mata hati menjadi buta.

Maka dari itu, tak perlu menunggu Tuhan datang sebagai rupa. Ia sudah lebih dulu hadir sebagai rasa, getar, nur, dan kesadaran terdalam. Ia hadir saat seorang ibu menangis dalam doa. Ia hadir dalam diam seorang hamba yang pasrah. Ia hadir dalam cinta, dalam pengampunan, dalam tangis yang tak bersuara.

Dan tentang “diri” yang berdiri berhadapan dengan Tuhan, itu pun perlu dicermati. Sebab siapa yang bisa berdiri di hadapan Yang Maha? Diri kita ini pun sejatinya bukan diri sejati, melainkan bayang-bayang. Yang sungguh berdiri adalah Dia dalam kita. Seperti kata Ibnu ‘Arabi: “Tiada yang wujud selain Dia. Maka jika engkau mengenal dirimu, engkau akan mengenal Tuhanmu.”

Namun jangan pula tersesat dalam penyatuan yang palsu. Ini bukan tentang meniadakan syariat atau menghapus perbedaan hamba dan Tuhan. Ini adalah tentang kedalaman makrifat, di mana seorang hamba tetap rendah di hadapan Tuhan, tapi hatinya menyatu dalam rida dan cinta yang tulus.

Maka di titik ini, pertanyaan “Mengapa Tuhan tak tampak?” berubah menjadi kesaksian: “Tuhan terlalu agung untuk ditampakkan, namun terlalu dekat untuk dilupakan.”

Biarlah cinta kita kepada-Nya tetap membara, meski tanpa rupa. Biarlah rindu ini terus memanggil, meski tak berbalas kata. Sebab yang mencintai sungguh tak butuh alasan atau bukti. Ia hanya butuh hadir, dalam sujud, dalam diam, dalam kesadaran bahwa Tuhan selalu nyata—meski tak pernah tampak.

Tuhan di sana? Tidak.
Tuhan di sini? Belum tentu.
Tapi Tuhan di dalam segala yang bersujud dan merindukan-Nya—itulah yang paling pasti.***

Foto : Istimewa

Editor : Aab Abdul Malik

(Dul)

Latest Posts

spot_imgspot_img

Don't Miss

Stay in touch

To be updated with all the latest news, offers and special announcements.