Oleh: Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan
Wartain.com || Banyak manusia merasa Tuhan begitu jauh. Mereka menengadah ke langit, berteriak dalam hati, mengiba dalam sepi—namun merasa tak jua dijawab. Mereka lalu bertanya, “Di manakah Tuhan ketika aku menderita?” Padahal yang sebenarnya terjadi bukan Tuhan yang pergi, melainkan kita yang tersesat.
Tersesat bukan berarti kehilangan arah di jalan, melainkan kehilangan arah dalam jiwa. Kita berjalan mengikuti ego, menuruti hawa nafsu, tenggelam dalam dunia hingga perlahan kesadaran kita akan Tuhan memudar. Kita hidup, namun tidak hadir. Kita bernapas, tapi tak sadar siapa yang menghidupkan.
Inilah bentuk keterasingan paling sunyi: saat manusia jauh dari Tuhannya, padahal Tuhan lebih dekat daripada urat lehernya sendiri.
Tersesatnya manusia tidak selalu tampak dalam bentuk dosa besar. Kadang ia tersembunyi dalam kesibukan yang tampak suci: mengejar dunia atas nama tanggung jawab, menumpuk ilmu tanpa hikmah, melakukan ibadah tanpa cinta. Kita tersesat bukan karena tidak beriman, tapi karena tidak lagi menghadirkan Tuhan dalam kehidupan.
Tuhan tidak pernah berubah. Ia senantiasa Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Hadir. Yang berubah adalah kita: hati yang dulu lembut kini mengeras, jiwa yang dulu bersih kini penuh kepentingan. Kita menutup diri dengan tabir-tabir ciptaan kita sendiri, lalu menyalahkan Tuhan atas kegelapan yang kita buat.
Padahal kegelapan itu adalah panggilan. Dalam derita dan kehilangan, Tuhan mengetuk hati kita. Ia membisikkan bahwa hidup bukan tentang menang dan kalah, kaya atau miskin, mulia atau hina—tapi tentang kembali. Kembali kepada-Nya. Kembali kepada asal cinta.
Jika engkau merasa jauh dari Tuhan, jangan tanya ke mana Ia pergi. Tanyakan: ke mana hatimu melangkah? Sebab Tuhan tak pernah beranjak. Ia menunggu, bahkan saat kau berpaling. Ia tetap mencintaimu, bahkan saat kau melupakan-Nya. Ia tetap menyapamu, lewat udara yang kau hirup, lewat luka yang menyadarkan.
Dan sungguh, jalan kembali kepada Tuhan tidak panjang. Cukup satu detik kesadaran, satu tetes air mata yang tulus, satu lirih doa yang jujur—maka Tuhan akan membalas mu dengan pelukan rahmat yang tak terhingga.
Karena pada akhirnya, Tuhan tidak jauh. Kitalah yang harus pulang.***
Foto : Istimewa
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)