Oleh: Hana Muhamad/ Ketua Umum Kohati Badko HMI Jawa Barat
Wartain.com || Di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman, ada satu isu yang masih tersembunyi di balik tembok keheningan masyarakat kita. Kekerasan seksual, layaknya gunung es, hanya menampakkan sebagian kecil dari realitas yang sebenarnya.
Data Kementrian PPA tahun 2024 mencatat lebih dari 25.000 kasus, dengan Jawa Barat menjadi peringkat pertama dengan jumlah kasus lebih dari 2.429, namun ini hanyalah puncak dari gunung es yang jauh lebih besar.
Bayangkan, untuk setiap kasus yang dilaporkan, ada sepuluh kasus lain yang tetap tersembunyi dalam kesunyian, terbenam dalam rasa takut, malu, dan ketidakberdayaan.
Kekerasan seksual bukanlah fenomena yang muncul begitu saja. Ia tumbuh dari akar budaya patriarki yang telah berabad-abad tertanam dalam masyarakat kita.
Seperti pohon beringin yang akarnya menembus jauh ke dalam tanah, begitu pula sistem patriarki telah mencengkeram berbagai aspek kehidupan sosial kita.
Survei mengejutkan dari Lentera Sintas Indonesia mengungkapkan bahwa 6 dari 10 perempuan pernah mengalami pelecehan seksual, namun yang lebih menyedihkan, hanya satu yang berani bersuara. Ini bukan sekadar angka, ini adalah kisah nyata tentang ketakutan, trauma, dan perjuangan yang tak terkatakan.
Bayangkan sebuah batu yang dilemparkan ke kolam yang tenang, riak-riaknya akan menyebar jauh melampaui titik jatuhnya. Begitu pula dampak kekerasan seksual. Riset terkini menunjukkan bahwa 85% korban mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), sebuah kondisi yang mengubah cara otak memproses trauma dan ketakutan.
Depresi berat menjangkiti 75% korban, sementara 60% hidup dengan kecemasan kronis yang menggerogoti kualitas hidup mereka sehari-hari. Lebih menyedihkan lagi, 40% korban terpaksa meninggalkan pendidikan atau pekerjaan mereka, memutus rantai kesempatan dan potensi yang seharusnya bisa mereka raih.
Perubahan nyata membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan tertulis, ia membutuhkan gerakan kolektif yang menggetarkan fondasi sosial kita.
Program-program pencegahan telah menjangkau 2 juta remaja, menanamkan pemahaman tentang consent dan kesetaraan gender. Ini adalah investasi untuk masa depan, membangun generasi yang lebih sadar dan berani melawan ketidakadilan.
Kita berada di titik kritis dalam sejarah perjuangan melawan kekerasan seksual. Setiap suara yang berani bicara adalah retakan pada tembok keheningan yang selama ini membelenggu.
Setiap tindakan, sekecil apapun, adalah langkah menuju perubahan yang lebih besar. Mari bersama-sama mengubah paradigma dari “mengapa korban diam” menjadi “mengapa kita tidak lebih keras bersuara?”
Karena pada akhirnya, perubahan tidak datang dari menunggu, ia datang dari keberanian untuk bersuara, bertindak, dan berjuang bersama. Inilah saatnya kita semua menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar pengamat dari epidemik yang telah terlalu lama merenggut martabat dan masa depan saudari-saudari kita.***
Foto : ilustrasi/Pixabay
Editor : Aab Abdul Malik
(Redaksi)