26.7 C
Jakarta
Senin, November 10, 2025

Latest Posts

Gentleman’s Agreement Jokowi–Prabowo: Listyo Sigit dan Reformasi Polri Tandingan

Oleh : Kang Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan

Wartain.com || Ketika Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai presiden Republik Indonesia, publik menunggu tanda-tanda perubahan. Harapannya sederhana tapi berat: bersih-bersih kabinet, reformasi birokrasi, dan restrukturisasi aparat penegak hukum yang selama ini dianggap terlalu dekat dengan kepentingan rezim sebelumnya. Namun di tengah gegap gempita itu, satu nama tetap tegak berdiri: Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kapolri yang telah melewati masa pemerintahan Jokowi dan kini bertahan di era Prabowo.

Pertanyaannya, mengapa Prabowo tidak mengganti Kapolri, padahal semua tahu Listyo adalah orang kepercayaan Jokowi?
Jawabannya terletak pada satu hal yang tidak pernah tertulis tapi nyata: gentleman’s agreement antara dua pemimpin besar.

Jokowi tidak memberikan dukungan politik kepada Prabowo tanpa syarat. Ada jaminan yang harus dibayar: keamanan politik bagi dirinya, keluarganya, serta keberlanjutan jaringan bisnis dan kekuasaan yang telah tertanam selama dua periode. Simbol paling konkret dari perjanjian itu adalah Gibran Rakabuming di kursi wakil presiden — garansi politik agar kepentingan Jokowi tetap hidup di pemerintahan baru.

Dalam bingkai inilah posisi Kapolri menjadi strategis. Polri adalah penjaga stabilitas kekuasaan. Ia bisa menjadi benteng atau batu sandungan bagi siapa pun yang berkuasa. Maka mempertahankan Listyo bukan sekadar soal loyalitas, melainkan bagian dari kontrak politik yang menjamin keseimbangan halus antara dua kekuatan: Jokowi dan Prabowo.

Namun, situasi mulai berubah ketika muncul dua arus reformasi di tubuh Polri: reformasi internal yang digagas langsung oleh Kapolri Listyo Sigit, dan reformasi eksternal yang dibentuk oleh tim kepresidenan Prabowo.

Di sinilah ketegangan halus mulai terasa.
Pada pertengahan September 2025, Kapolri membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri, berisi 52 perwira tinggi dan menengah. Tim ini diketuai Kalemdiklat Polri Komjen Chryshnanda Dwilaksana, dengan Kapolri sebagai pelindung dan Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo sebagai penasihat.

Tugasnya: mengevaluasi seluruh kebijakan dan struktur organisasi Polri, memperbarui kultur pelayanan publik, hingga menyiapkan Grand Strategy Polri 2025–2045. Dalam pidatonya, Listyo menegaskan bahwa reformasi Polri harus dilakukan “secara menyeluruh dan fundamental” untuk menjawab krisis kepercayaan publik.

Langkah ini tampak progresif di permukaan. Tetapi, pengamat politik dan keamanan mencatat gejala menarik: reformasi yang dilakukan Kapolri bukan hanya upaya profesional, melainkan juga manuver pertahanan kekuasaan. Dengan membentuk tim reformasi sendiri, Listyo seolah mengirim pesan kepada Istana: “Saya masih relevan, dan saya punya kendali.”

Di sisi lain, pemerintahan Prabowo membentuk tim reformasi eksternal, dengan Ahmad Dofiri — mantan Kabareskrim dan loyalis Prabowo — sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Reformasi Kepolisian. Tim ini disebut-sebut akan mengawasi transformasi internal Polri dan memastikan arah reformasi sesuai visi nasional pemerintahan baru.

Muncul kesan bahwa dua kekuatan reformasi kini berjalan sejajar: satu di bawah kendali Kapolri, satu lagi di bawah kendali presiden.

Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah ini sinergi, atau justru pertarungan senyap antara dua agenda politik?

Listyo jelas ingin menunjukkan bahwa Polri bisa berbenah tanpa tekanan dari luar. Namun tim eksternal dari Istana juga punya pesan tersendiri: reformasi Polri tidak boleh hanya berhenti pada jargon, melainkan harus menembus ke akar — termasuk menyentuh struktur dan jaringan lama yang selama ini kebal hukum.

Sejumlah pengamat melihat bahwa langkah Listyo membentuk tim reformasi internal adalah bentuk defensif elegan — menciptakan kesan progresif agar tidak mudah disingkirkan. Publik pun melihat bahwa posisi Kapolri kini lebih kuat dari sebelumnya: didukung oleh infrastruktur internal yang ia bentuk sendiri, sekaligus dilindungi oleh perjanjian politik antara Jokowi dan Prabowo.

Dalam bahasa politik realis, Listyo adalah figur yang “tak tersentuh”.

Namun dalam jangka panjang, dilema ini tak bisa berlangsung terus.

Reformasi ganda — internal vs eksternal — bisa menciptakan kebingungan arah dan tumpang tindih kebijakan. Di satu sisi, Kapolri ingin menunjukkan kemandirian Polri. Di sisi lain, Presiden ingin menegaskan otoritasnya sebagai kepala negara yang tak sekadar meneruskan kebijakan lama. Jika keduanya tak menemukan harmoni, Polri justru berisiko menjadi ajang tarik-menarik kepentingan antara dua poros kekuasaan.

Yang lebih penting, publik harus peka membaca arah angin.

Apakah reformasi yang sedang berlangsung benar-benar demi perbaikan profesionalisme Polri, atau hanya cara halus untuk mengamankan posisi elite tertentu?

Apakah Listyo sedang memperkuat kelembagaan Polri, atau sedang membangun benteng kekuatan untuk melindungi warisan politik Jokowi di era Prabowo?

Kehadiran dua tim reformasi ini menciptakan ironi baru: reformasi yang seolah direformasi kembali. Dalam bahasa sinis, ini bukan pertarungan visi, tapi pertarungan siapa yang berhak mendefinisikan “reformasi” itu sendiri.

Jika Prabowo ingin menegaskan era baru kepemimpinan, cepat atau lambat ia harus mengambil keputusan:
tetap berbagi kendali dengan bayang-bayang Jokowi melalui figur Listyo Sigit, atau mengambil langkah berani merebut otoritas penuh atas Polri.

Publik menunggu jawaban itu — karena di balik gentleman’s agreement yang rapi dan penuh sopan santun, masa depan demokrasi dan supremasi hukum Indonesia sesungguhnya sedang dipertaruhkan.

Kondisi apapun Rakyat bersama Presiden Prabowo Subianto.***

Foto : Ilustrasi

Editor : Aab Abdul Malik

(Dul)

Latest Posts

spot_imgspot_img

Don't Miss

Stay in touch

To be updated with all the latest news, offers and special announcements.