Oleh : Kang Dzikri Nur/ Pengamat Sosial Keagamaan
Abstrak
Wartain.coom || Konsep Dajjal merupakan salah satu tema paling kompleks dan kontroversial dalam wacana eskatologis Islam. Ia bukan sekadar tokoh akhir zaman, tetapi simbol kebudayaan, politik, spiritualitas, dan epistemologi yang menandai krisis kemanusiaan. Kajian ini menelusuri istilah Dajjal secara historis, tekstual, dan hermeneutik untuk menemukan makna yang lebih dalam di balik narasi literalnya.
Dengan menggabungkan pendekatan Al-Qur’an, hadis, tafsir simbolik, dan analisis kesadaran modern, tulisan ini berusaha menjernihkan pemahaman umat agar tidak terjebak pada mitos, melainkan menangkap pesan profetik di balik simbol Dajjal itu sendiri.
Pendahuluan
Istilah Dajjal berasal dari akar kata Arab dajala yang berarti “menutupi, menipu, atau mencampur kebenaran dengan kebohongan.” Dalam hadis Nabi Muhammad ﷺ, Dajjal digambarkan sebagai makhluk bermata satu, pembawa fitnah terbesar menjelang kiamat, yang akan mengaku sebagai Tuhan. Namun, secara historis dan simbolik, penggambaran ini tidak semata-mata menunjuk kepada satu individu fisik, melainkan juga kepada sistem penipuan kolektif yang melanda kesadaran manusia.
Di sinilah perlunya pendekatan hermeneutik — membaca teks suci tidak hanya secara lahir, tetapi juga batin.
Perspektif Historis:
Narasi Dajjal mulai dikenal luas pada abad-abad awal Islam, bersumber dari hadis-hadis sahih dan beberapa riwayat Israeliyyat. Dalam konteks sejarah peradaban, Dajjal sering diidentifikasi dengan simbol kekuatan besar yang menentang nilai tauhid: dari kerajaan Romawi Timur, materialisme Barat, hingga modernitas sekuler.
Setiap zaman memiliki “Dajjal-nya” — yakni sistem yang menolak realitas ruhani dan menggantinya dengan ilusi kemajuan teknologis atau ideologis. Maka, secara historis, Dajjal adalah fenomena yang berulang, bukan sekadar figur tunggal yang muncul di akhir zaman.
Perspektif Qur’ani dan Hadis:
Al-Qur’an tidak menyebut nama Dajjal secara eksplisit, namun berbagai ayat menyinggung sosok yang memiliki karakteristik serupa: penipu besar yang mengaku sebagai Tuhan, penebar fitnah, dan penguasa duniawi yang menolak kebenaran wahyu.
Ayat seperti QS. Al-An’am [6]: 112-113 menggambarkan adanya “setan dari jenis manusia dan jin yang menipu dengan kata-kata indah.” Hadis-hadis Nabi ﷺ menegaskan bahwa Dajjal membawa “surga dan neraka,” padahal hakikatnya terbalik — surga palsu dan neraka sejati. Ini mengandung makna epistemologis: bahwa manusia diuji untuk membedakan antara ilusi dunia dan realitas ilahi.
Perspektif Simbolis dan Personal:
Secara simbolis, Dajjal adalah manifestasi dari mata batin yang buta sebelah — melihat dunia materi tetapi kehilangan pandangan terhadap hakikat spiritual. “Mata satu” bukan hanya fisik, tetapi simbol kesadaran yang timpang. Dalam konteks personal, Dajjal bisa hidup dalam diri setiap manusia yang dikuasai ego, kesombongan intelektual, dan penyembahan terhadap kekuasaan.
Maka, setiap individu memiliki potensi “dajjaliah” — yakni kecenderungan menutupi cahaya Tuhan dalam dirinya. Melawan Dajjal berarti melawan nafs yang menipu, bukan hanya menanti makhluk gaib yang turun dari langit.
Perspektif Hermeneutik dan Kesadaran Modern:
Pendekatan hermeneutik membuka lapisan makna baru terhadap konsep Dajjal. Ia tidak lagi dibaca sebagai sekadar tokoh akhir zaman, melainkan arketipe kesadaran modern yang menolak nilai ilahiah dan menggantikannya dengan rasionalitas absolut.
Dajjal adalah simbol dehumanisasi manusia modern — ketika teknologi, kapitalisme, dan egoisme global menciptakan tatanan dunia yang meniadakan Tuhan. Dalam kerangka ini, “kemunculan Dajjal” bukan peristiwa futuristik, melainkan realitas kontemporer yang sudah berlangsung: sistem ekonomi yang menipu, informasi yang memanipulasi, dan ideologi yang mengaburkan kebenaran.
Kesimpulan
Dajjal sejatinya bukan hanya entitas individual, tetapi paradigma penipuan spiritual dan epistemologis yang menolak kebenaran Ilahi. Dalam sejarah, ia tampil dalam wujud ideologi, teknologi, dan kekuasaan yang menjadikan manusia sebagai Tuhan atas manusia. Dalam diri pribadi, ia hidup sebagai ego yang menolak bimbingan ruhani. Maka, memahami Dajjal bukan menunggu sosok bermata satu, tetapi mengenali fitnah yang menutup cahaya hati. Hanya dengan marifatullah dan kesadaran hakikat, umat dapat selamat dari sistem Dajjaliah modern dan kembali kepada kebenaran yang hakiki: La ilaha illa Allah.***
Editor : Aab Abdul Malik
(Dul)
