26.7 C
Jakarta
Sabtu, Oktober 25, 2025

Latest Posts

Risalah Nur : Menyelam ke Dalam Bayang-Bayang Demokrasi Jahiliyah dengan Cahaya Tauhid

Oleh : Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan

Mukadimah: Cermin yang Pecah dan Cahaya yang Hilang

Wartain.com || Segala puji bagi Allah yang menyingkap hijab hati dengan Nur-Nya, yang mengajarkan manusia dengan kalam, yang memanggil hamba-Nya dari kegelapan menuju cahaya.

Kita hidup di zaman ketika demokrasi dijadikan berhala baru; manusia menyembah kehendaknya sendiri sambil menamai itu “kebebasan”. Padahal, kebebasan tanpa Tauhid hanyalah bentuk lain dari perbudakan—perbudakan kepada ego, hawa, dan sistem dunia.

Di tengah gemerlap modernitas, manusia kehilangan wajahnya sendiri.
Ia lupa asalnya dari Ruh Ilahi, lalu menatap dirinya hanya sebagai angka, suara, dan konsumen. Maka dunia menjadi bising, tapi batin sunyi; penuh gerak, tapi tanpa arah; ramai upacara agama, tapi kosong marifat.

Bab I: Demokrasi Jahiliyah sebagai Bayang-Bayang Ego

Jahiliyah bukan hanya masa lalu; ia adalah keadaan batin — ketika manusia menolak Tuhan tetapi masih memakai nama-Nya.
Demokrasi modern adalah bentuk halus dari penolakan itu: manusia berkata, “kami yang berdaulat,” padahal sejatinya tidak ada daulat kecuali bagi Allah.

Inilah yang disebut para arifin sebagai syirik khafi — syirik yang tersembunyi di dalam nalar dan hukum.

Bukan berhala batu yang disembah, tetapi berhala konsep, sistem, dan opini.
Mereka beribadah di parlemen, bukan di mihrab; berfatwa melalui statistik, bukan melalui wahyu.

Demokrasi menjanjikan suara rakyat, tetapi melahirkan kekuasaan segelintir.
Janji kebebasan berubah menjadi penjara batin; manusia bebas berbicara, tetapi hatinya dikurung oleh ketakutan kehilangan kenikmatan dunia.

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki?” (QS Al-Ma’idah: 50)
Jahiliyah baru tidak menolak Allah secara terang-terangan; ia hanya menyingkirkan Allah dari urusan dunia.

Bab II: Krisis Ketuhanan, Agama, dan Kemanusiaan

Tiga hal yang dahulu menyatu kini terpisah: Tuhan, agama, dan manusia.
Agama menjadi ritual tanpa ruh, Tuhan dijadikan konsep teologis yang tak menyentuh sosial, dan manusia menjadi tubuh tanpa jiwa.
Para sufi berkata:

“Bila engkau melihat agama tanpa cinta, ketahuilah itu bukan agama;
bila engkau melihat politik tanpa nur, ketahuilah itu tipu daya.”

Krisis ketuhanan bukan berarti Tuhan hilang; yang hilang adalah kesadaran manusia tentang kehadiran-Nya.
Hati menjadi gelap karena cermin ruh telah tertutup debu dunia.

Bab III: Jalan Kembali — Tauhid sebagai Cermin Semesta

Tauhid bukan hanya kalimat lā ilāha illā Allāh di lisan; ia adalah pengalaman kesatuan realitas.

Barang siapa telah menyaksikan bahwa tiada wujud selain Wujud Allah, ia tak akan bisa menyembah sistem, uang, atau manusia.

Para arifin berkata:

“Tauhid bukan menolak Tuhan lain, tapi meniadakan selain Tuhan.”

Ketika seorang hamba memahami makna ini, ia bebas dari segala bentuk kekuasaan palsu.

Ia bisa hidup di tengah demokrasi jahiliyah, tetapi batinnya tetap di bawah pemerintahan Ilahi.

Sebab bagi kekasih Allah, setiap sistem hanyalah tirai, dan di balik tirai itu tetap ada Kehendak Tunggal yang mengatur segalanya.

Bab IV: Politik sebagai Ladang Iman

Bagi ahli marifat, politik bukan perebutan kekuasaan, tapi ladang amanah.
Ia tidak menolak dunia, tetapi menundukkannya agar kembali kepada Tuhan.

Ia tahu bahwa keadilan tidak lahir dari sistem, tapi dari hati yang suci.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar-Ra’d: 11)

Maka perubahan sejati bukan dimulai dari parlemen, melainkan dari qalb.
Ketika hati-hati manusia telah bening dan sadar akan Allah, maka seluruh tatanan sosial pun akan berubah. Sebab dunia hanyalah bayangan hati manusia.

Bab V: Jalan Profetik — Dari Ilmu ke Cinta, dari Cinta ke Nur

Rasulullah ﷺ datang bukan membawa teori, tapi membawa cahaya.
Beliau adalah akal dan nur yang berpadu; ilmu yang hidup.

Maka jalan profetik bukan sekadar reformasi, tapi tajdid al-qalb — pembaruan hati.

Ahli marifat menempuh jalan ini melalui dzikir, tafakkur, dan mujahadah.
Mereka menyalakan lentera dalam diri hingga mengenali bahwa seluruh wujud adalah tajalli Allah.

Ketika mata batin telah terbuka, ia melihat bahwa bahkan demokrasi, sekularisme, kapitalisme — semuanya hanyalah panggung bagi rahasia Ilahi:
tempat di mana Allah memperlihatkan siapa yang benar-benar mengenal-Nya, dan siapa yang tertipu oleh bayang-bayang dunia.

Bab VI: Cahaya Penutup — Negara Ruhani di Dalam Diri

Negara sejati bukan di atas tanah, tapi di dalam hati.
Siapa yang menegakkan hukum Allah dalam dirinya, maka ia telah menegakkan negara tauhid.
Siapa yang adil terhadap dirinya, maka ia telah menjadi khalifah bagi jiwanya.
Ketika kesadaran ini menyebar, lahirlah masyarakat ruhani — umat yang hidup di bawah satu pemerintahan: pemerintahan Allah.
Itulah madīnat an-nūr, negeri cahaya yang tidak dibangun dengan undang-undang, tapi dengan cinta dan keikhlasan.

“Mereka yang beriman dan hati mereka tenteram dengan dzikrullah,
ingatlah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d: 28)

Penutup: Seruan Nurani

Wahai saudaraku,
janganlah engkau mencari kebenaran di parlemen, di layar televisi, atau di suara mayoritas.

Carilah ia di dalam hatimu, sebab di sanalah Tuhan berbicara diam-diam.
Demokrasi jahiliyah bisa merampas suaramu, tapi tidak bisa memadamkan ruhmu.

Bangkitlah bukan dengan amarah, tapi dengan cahaya; bukan dengan teriakan, tapi dengan dzikir yang menembus langit.
Karena pada akhirnya, semua sistem akan runtuh, tapi Nur Allah tidak pernah padam.
✨ “Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”
(QS An-Nur: 35).***

Editor : Aab Abdul Malik

(Dul)

Latest Posts

spot_imgspot_img

Don't Miss

Stay in touch

To be updated with all the latest news, offers and special announcements.