26.7 C
Jakarta
Senin, November 10, 2025

Latest Posts

Lubang Cuan dalam Bayang Mega Proyek: Analisis Akademik atas Korupsi Struktural dan Manipulasi Anggaran dalam Era Transisi Kekuasaan

Oleh : Kang Dzikri Nur/Pengamat Sosial Keagamaan

Pendahuluan

Wartain.com || Ketika pemerintahan berganti, yang seharusnya diwariskan adalah sistem yang sehat dan transparan. Namun dalam kenyataannya, banyak proyek strategis nasional justru meninggalkan jejak gelap: pembengkakan anggaran, utang besar, dan jaringan pejabat yang memanfaatkan celah sistem untuk kepentingan pribadi. Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut state capture corruption—ketika kekuasaan publik disandera oleh kepentingan privat.

Kasus proyek Kereta Cepat Whoosh dan skandal pembiayaan yang kemudian dibongkar Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjadi titik terang baru dalam memahami bagaimana kekuasaan ekonomi, politik, dan birokrasi saling berkelindan untuk membangun “lubang cuan” yang merugikan negara.

Akar Masalah: Korupsi Struktural dan Tata Kelola yang Runtuh

Skema proyek besar seperti Kereta Cepat Whoosh melibatkan konsorsium lintas negara, BUMN strategis, serta dana pinjaman dari luar negeri. Dalam kerangka teori political economy of corruption, ruang transaksi gelap muncul karena lemahnya kontrol publik terhadap pengadaan barang dan jasa serta ketergantungan pemerintah pada investasi cepat (quick capital injection).

Pejabat yang memegang otoritas keuangan, proyek, dan perizinan membentuk triangle of benefit—suatu jaringan informal di mana proyek disetujui bukan karena urgensi ekonomi, tetapi karena potensi keuntungan bagi individu dan kelompok. Praktik ini meliputi manipulasi nilai kontrak, mark-up komponen proyek, hingga pengalihan dana ke rekening fiktif melalui subkontraktor binaan kroni politik.

Modus Operandi: Menjahit Cuan di Balik Kebijakan

Rekayasa Pembiayaan dan Utang.
Pinjaman luar negeri dijadikan sarana menumpuk komisi proyek. Setiap persetujuan kredit internasional biasanya mengandung biaya konsultasi, commitment fee, dan potongan tidak langsung yang “mengalir” ke aktor dalam negeri.

Dalam kasus Whoosh, beban utang membengkak hingga triliunan rupiah, tetapi sebagian dana menguap sebelum mencapai kebutuhan teknis di lapangan.

Penyamaran lewat BUMN Holding
BUMN strategis dijadikan tameng politik agar pembiayaan tak tercatat langsung sebagai beban APBN. Akibatnya, audit publik sulit menembus lapisan korporasi negara. Ketika utang jatuh tempo, barulah negara “diminta turun tangan”. Pola ini adalah bentuk state liability laundering—pencucian tanggung jawab keuangan melalui instrumen negara.

Perputaran Dana di Bank Indonesia dan Perbankan Pemerintah

Dana proyek sering “diparkir” dalam bentuk simpanan jangka pendek, menghasilkan bunga yang menguntungkan pihak tertentu. Purbaya menyebut sekitar Rp 425 triliun dana mengendap di BI sebagai anomali kebijakan fiskal masa lalu—indikasi bahwa uang negara digunakan untuk kepentingan likuiditas kelompok tertentu, bukan produktivitas ekonomi.

Jaringan Politik dan Perlindungan Hukum
Para pejabat tinggi, eks-menteri, dan jaringan dinasti politik membentuk benteng hukum informal. Mereka menempatkan orang-orang kepercayaan di lembaga pengawasan agar audit diperlunak atau ditunda. Inilah wajah “korupsi sistemik”—bukan sekadar pencurian uang, tetapi perancangan hukum agar pencurian menjadi legal.

Analisis: Antara Ekonomi Bayangan dan Etika Negara

Dalam perspektif institutional economics, negara seharusnya berfungsi sebagai penjaga integritas kebijakan fiskal. Namun ketika struktur lembaganya terkooptasi oleh jaringan rente, maka ekonomi resmi dan ekonomi bayangan hidup berdampingan.

Etika pemerintahan pun runtuh: keputusan publik diambil bukan berdasarkan public interest, melainkan private gain.
Fenomena ini menandakan gejala akut yang disebut moral hazard of bureaucracy, yaitu ketika birokrat mengetahui bahwa kegagalan atau penyimpangan mereka akan ditanggung oleh negara, bukan oleh individu pelaku. Selama belum ada reformasi kelembagaan dan hukum yang menembus akar kekuasaan, lubang cuan akan terus menjadi sumber kebocoran abadi.

Refleksi: Reformasi sebagai Takhalli, Tahalli, dan Tajalli

Dalam konteks spiritualitas bangsa, reformasi keuangan dan birokrasi tidak cukup dilakukan melalui regulasi semata. Ia harus menyentuh kesadaran moral pejabat: takhalli (mengosongkan diri dari keserakahan), tahalli (menghiasi diri dengan kejujuran), dan tajalli (memancarkan amanah sebagai cermin Ilahi dalam jabatan publik).
Menteri Purbaya dengan langkah menghentikan pembiayaan dan menolak talangan APBN untuk proyek bermasalah menandai babak baru reformasi moral fiskal. Namun langkah itu harus diikuti dengan tindakan hukum dan transparansi total agar keadilan tidak berhenti di wacana.

Penutup

Skandal keuangan proyek Whoosh adalah cermin dari kerusakan struktural yang lebih dalam: birokrasi yang dikooptasi, etika publik yang luntur, dan sistem anggaran yang dijadikan ladang cuan. Pemerintah baru memiliki tanggung jawab historis untuk menegakkan keadilan fiskal dan moral. Sebab bangsa ini tidak akan pulih hanya dengan mengganti pejabat, tetapi dengan memulihkan nurani dan integritas kekuasaan.***

Editor : Aab Abdul Malik

(Dul)

Latest Posts

spot_imgspot_img

Don't Miss

Stay in touch

To be updated with all the latest news, offers and special announcements.